Abdullah bin ‘Amr ibnil ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, salah seorang 
shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan, “Ada 
seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
 ‘Perangai Islam yang manakah yang paling baik?’ Beliau Shallallahu 
‘alaihi wa sallam menjawab:
“Engkau memberi makan (kepada orang yang membutuhkan, pent.) serta 
mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan tidak engkau 
kenal.” (HR. Al-Bukhari no. 6236 dan Muslim no. 159)
Pada kesempatan lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian 
tidak dikatakan beriman hingga kalian bisa saling mencintai. Maukah 
kalian aku tunjukkan terhadap satu amalan yang bila kalian 
mengerjakannya kalian akan saling mencintai? Yaitu sebarkanlah salam di 
antara kalian.” (HR. Muslim no. 192)
Dalam dua hadits di atas terdapat hasungan yang besar untuk 
menyebarkan salam kepada kaum muslimin seluruhnya, yang dikenal ataupun 
yang tidak. Dan salam merupakan syiar kaum muslimin yang membedakan 
mereka dengan non muslim. Salam merupakan sebab awal tumbuhnya kedekatan
 hati dan kunci yang mengundang rasa cinta. Dengan menyebarkannya 
berarti menumbuhkan kedekatan hati di antara kaum muslimin, selain untuk
 menampakkan syiar mereka yang berbeda dengan orang-orang selain mereka.
 (Al-Minhaj 2/224, 225, Syarhu Riyadhish Shalihin, Ibnu ‘Utsaimin 
rahimahullahu, 3/6)
Bila salam terucap dari seorang lelaki kepada lelaki lain atau antara
 sesama wanita, atau lelaki kepada wanita yang merupakan mahramnya dan 
sebaliknya wanita mengucapkan salam kepada lelaki dari kalangan 
mahramnya, tidaklah menjadi permasalahan. Bahkan mereka dihasung untuk 
mengamalkan dua hadits di atas. Yang menjadi tanya adalah: bolehkah 
laki-laki mengucapkan salam kepada wanita ajnabiyyah (bukan mahramnya) 
dan sebaliknya?
Untuk menjawabnya, kita baca hadits-hadits yang akan disebutkan berikut ini:
Abdullah bin Maslamah menyebutkan riwayat dari Ibnu Abi Hazim, dari 
bapaknya, dari Sahl radhiyallahu ‘anhu. Sahl radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Kami merasa senang pada hari Jum’at.” Aku (Abu Hazim) bertanya 
kepada Sahl, “Kenapa?” Sahl menjawab, “Kami punya (kenalan) seorang 
wanita tua, ia mengirim orang ke Budha’ah –sebuah kebun yang ada di 
Madinah– lalu ia mengambil pokok pohon silq (semacam sayuran, pent.) dan
 dimasukkannya ke dalam bejana (yang berisi air, pent.), dimasak sampai 
matang. Kemudian ia mengadon biji-bijian dari gandum. Bila kami selesai 
dari shalat Jum’at, kami pergi ke tempat wanita tersebut dan mengucapkan
 salam kepadanya. Lalu ia menghidangkan masakan tersebut kepada kami 
maka kami bergembira karenanya1. Tidaklah kami tidur siang dan tidak 
pula makan siang kecuali setelah Jum’atan.” (HR. Al-Bukhari no. 6248)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai Aisyah! Ini Jibril, ia mengirim salam untukmu2.” Aisyah 
menjawab, “Wa ‘alaihis salam wa rahmatullah.3 Engkau (wahai Rasulullah) 
dapat melihat apa yang tidak kami lihat.” (HR. Al-Bukhari no. 6249 dan 
Muslim no. 6251)
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu memberi judul dua hadits di atas 
dengan bab Taslimur Rijal ‘alan Nisa` wan Nisa` ‘alar Rijal, artinya 
“Laki-laki mengucapkan salam kepada wanita dan wanita mengucapkan salam 
kepada laki-laki.”
Ummu Hani` Fakhitah bintu Abi Thalib radhiyallahu ‘anha, saudara 
kandung ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, yang berarti misan 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengabarkan: “Aku mendatangi 
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Fathu Makkah dalam keadaan 
beliau sedang mandi, sementara putri beliau, Fathimah radhiyallahu ‘anha
 menutupi beliau dengan kain4. Aku mengucapkan salam kepada beliau5. 
Beliau pun bertanya:
“Siapa yang datang ini?” “Saya Ummu Hani` bintu Abi Thalib,” jawabku.
 “Marhaban Ummu Hani`,” sambut beliau. (HR. Al-Bukhari no. 357 dan 
Muslim no. 1666)
Asma` bintu Yazid radhiyallahu ‘anha menyampaikan:
“Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat di masjid 
dan sekumpulan wanita tengah duduk. Beliau pun melambaikan tangan 
sebagai pengucapan salam.”6 (HR. At-Tirmidzi no. 2697, dishahihkan 
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi)
Abdullah ibnuz Zubair radhiyallahu ‘anhuma berkata mengomentari jual 
beli atau pemberian yang diberikan oleh bibinya, Aisyah bintu Abi Bakr 
radhiyallahu ‘anhuma7:
“Demi Allah! Aisyah harus berhenti dari apa yang dilakukannya8 atau 
aku sungguh akan memboikotnya.” Ketika disampaikan ucapan Ibnuz Zubair 
ini kepada Aisyah, ia berkata, “Apa benar Ibnuz Zubair (Abdullah) 
berkata demikian?”
“Ya,” jawab mereka.
“Kalau begitu, demi Allah! Aku bernadzar tidak akan mengajak bicara Ibnuz Zubair selama-lamanya,” kata Aisyah dengan kesal.
Ketika sudah berlangsung lama hajrnya (diamnya) Aisyah kepadanya, 
Ibnuz Zubair meminta bantuan kepada orang lain untuk menjadi perantara 
yang mengishlah antara dia dan bibinya. Namun Aisyah menolaknya, “Tidak 
demi Allah! Aku tidak akan menerima seorang pun yang menjadi 
perantaranya agar aku kembali mengajaknya bicara dan aku tidak akan 
melanggar nadzarku.”
Tatkala panjang lagi keadaan seperti itu bagi Ibnuz Zubair, ia pun 
mengajak bicara Al-Miswar bin Makhramah dan Abdurrahman ibnul Aswad bin 
Abdi Yaghuts, keduanya dari Bani Zuhrah.9 Ibnuz Zubair berkata kepada 
keduanya, “Aku meminta kepada kalian berdua dengan nama Allah agar 
kalian berdua memasukkan aku ke tempat Aisyah (hingga dapat bertemu muka
 dengannya) karena tidak halal baginya bernadzar memutuskan hubungan 
denganku.”
Al-Miswar dan Abdurrahman pun datang ke rumah Aisyah dalam keadaan 
mereka menyelubungi tubuh mereka dengan rida`, bersama mereka berdua ada
 Ibnuz Zubair. Mereka minta izin masuk ke rumah Aisyah. Keduanya 
mengucapkan salam kepada Aisyah, “Assalamu ‘alaiki wa rahmatullahi wa 
barakatuh, bolehkah kami masuk?” tanya mereka.
(Setelah menjawab salam mereka) Aisyah berkata mempersilakan mereka (dari balik hijab), “Masuklah kalian.”
“Kami semuanya?” tanya mereka.
“Iya, kalian semua silakan masuk,” sahut Aisyah. Dan Aisyah tidak 
tahu kalau di antara keduanya ada Ibnuz Zubair. Ketika mereka sudah 
masuk ke kediaman Aisyah, Ibnuz Zubair masuk ke balik hijab untuk 
bertemu muka dengan bibinya (sementara Al-Miswar dan Abdurrahman tetap 
di balik hijab karena mereka bukanlah mahram Aisyah). Lalu ia merangkul 
Aisyah dan mulai meminta dengan bersumpah agar Aisyah mau berbicara lagi
 dengannya dan ia menangis. Al-Miswar dan Abdurrahman juga mulai angkat 
suara meminta dengan bersumpah agar Aisyah mau mengajak bicara 
keponakannya dan menerima maafnya.
Keduanya berkata, “Sebagaimana yang telah Anda ketahui bahwa Nabi 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hajr seperti yang anda lakukan 
ini, karena beliau bersabda, ‘Tidak halal bagi seorang muslim menghajr 
saudaranya lebih dari tiga malam’.”
Tatkala mereka terus-menerus mengingatkan Aisyah akan keutamaan 
menyambung silaturahim, memaafkan, dan menahan marah serta dosanya bila 
memutuskan silaturahim, mulailah Aisyah berbicara kepada keduanya dalam 
keadaan menangis. Aisyah berkata, “Aku telah bernadzar. Dan nadzar itu 
perkaranya berat.”
Namun terus menerus keduanya memohon kepada Aisyah hingga akhirnya 
Aisyah mau berbicara dengan Ibnuz Zubair. Dan untuk menebus nadzarnya, 
ia membebaskan 40 orang budak. Bila ia mengingat nadzarnya setelah itu, 
ia menangis hingga air matanya membasahi kerudungnya.” (HR. Al-Bukhari 
no. 6073, 6074, 6075)
Berikut ini penjelasan para ulama tentang permasalahan yang menjadi pembicaraan kita:
1. Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu, “Mengucapkan salam kepada para 
wanita dibolehkan, terkecuali bila wanita itu masih muda karena 
dikhawatirkan fitnah bila berbicara dengan mereka dengan adanya bujuk 
rayu setan atau pandangan mata yang khianat (lirikan mata yang 
diharamkan). Adapun bila wanita itu sudah lanjut usia maka bagus 
mengucapkan salam pada mereka karena aman dari fitnah. Ini merupakan 
pendapat ‘Atha` dan Qatadah, dan dipegangi oleh Al-Imam Malik serta 
sekelompok ulama rahimahumullah.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/195)
2. Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Seorang lelaki ajnabi 
boleh mengucapkan salam kepada wanita ajnabiyyah bila jumlah wanita 
tersebut lebih dari satu (sekelompok wanita). Namun bila wanita tersebut
 hanya seorang diri maka yang boleh mengucapkan salam kepadanya adalah 
sesama wanita, suaminya, tuannya (bila si wanita berstatus budak) dan 
mahramnya, baik si wanita itu cantik atau tidak cantik.
Adapun lelaki ajnabi diberikan perincian.
- Bila si wanita itu sudah tua tidak mendatangkan selera lelaki 
terhadapnya, maka disenangi bagi lelaki ajnabi untuk mengucapkan salam 
kepadanya. Demikian pula sebaliknya si wanita disenangi untuk 
mengucapkan salam kepada lelaki tersebut. Siapa di antara keduanya yang 
mengucapkan salam terlebih dahulu maka yang satunya wajib menjawabnya.
- Apabila wanita itu masih muda atau sudah tua namun masih mengundang
 hasrat, maka tidak boleh lelaki ajnabi mengucapkan salam kepadanya, dan
 sebaliknya si wanita pun demikian. Siapa di antara keduanya mengucapkan
 salam kepada yang lain (baik si lelaki ataukah si wanita) maka ia tidak
 berhak mendapatkan jawaban dan dibenci membalas salam tersebut. Yang 
demikian ini merupakan mazhab kami dan mazhab jumhur. Rabi’ah berkata, 
‘Laki-laki tidak boleh mengucapkan salam kepada wanita (ajnabiyyah) dan 
sebaliknya wanita tidak boleh mengucapkan salam kepada laki-laki 
(ajnabi).’ Namun ini pendapat yang keliru. Orang-orang Kufah berkata, 
‘Tidak boleh laki-laki mengucapkan salam kepada wanita bila tidak ada 
mahram si wanita di situ.’ Wallahu a’lam.” (Al-Minhaj, 14/374)
3. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu berkata, 
“Laki-laki boleh mengucapkan salam kepada wanita atau sebaliknya10 
apabila aman dari fitnah.” Al-Halimi berkata, “Adalah Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam aman dari fitnah karena beliau ma’shum (terjaga dari 
berbuat dosa). Maka siapa yang meyakini dirinya dapat selamat dari 
fitnah, silakan ia mengucapkan salam (kepada lawan jenisnya, pent.). 
Bila tidak, maka diam lebih selamat.” Ibnu Baththal berkata dari 
Al-Muhallab, “Salam laki-laki terhadap wanita dan sebaliknya, dibolehkan
 apabila aman dari fitnah. Pengikut mazhab Maliki membedakan antara 
wanita yang masih muda dengan yang sudah tua dalam rangka menutup jalan 
menuju kerusakan11. Adapun Rabi’ah melarang secara mutlak. Orang-orang 
Kufah berkata, ‘Tidak disyariatkan kepada wanita untuk memulai 
mengucapkan salam kepada laki-laki karena mereka dilarang 
mengumandangkan adzan, iqamah, dan mengeraskan bacaan di dalam shalat. 
Dikecualikan dalam hal ini bila laki-laki tersebut adalah mahram si 
wanita, karena boleh baginya mengucapkan salam kepada mahramnya.”
Al-Hafizh rahimahullahu berkata lagi menukilkan ucapan Al-Mutawalli, 
“Bila seorang lelaki mengucapkan salam kepada istrinya atau wanita dari 
kalangan mahramnya atau budak perempuannya maka hukumnya sama dengan 
seorang lelaki mengucapkan salam kepada lelaki lain. Namun bila si 
wanita adalah ajnabiyyah (non mahram) maka perlu ditinjau dahulu. Kalau 
si wanita berparas cantik, dikhawatirkan laki-laki akan tergoda 
dengannya sehingga tidak disyariatkan memulai mengucapkan salam 
kepadanya ataupun menjawab salamnya. Bila salah seorang dari mereka (si 
laki-laki atau si wanita) mengucapkan salam terlebih dahulu kepada yang 
lain maka makruh menjawabnya. Namun kalau si wanita sudah tua di mana 
laki-laki tidak akan terfitnah dengannya maka boleh mengucapkan salam 
kepadanya.”
Apabila berkumpul dalam satu majelis sejumlah laki-laki dan sejumlah 
wanita, boleh bagi kedua belah pihak mengucapkan salam bila memang aman 
dari fitnah. (Fathul Bari, 11/41, 42-43)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu memberikan 
keterangan, “Mengucapkan salam kepada wanita yang merupakan mahram 
adalah perkara sunnah. Sama saja baik itu istri, saudara perempuan, 
bibi, ataupun keponakan perempuan. Adapun wanita ajnabiyyah, tidak boleh
 mengucapkan salam kepadanya kecuali bila wanita tersebut sudah tua dan 
aman dari fitnah. Bila tidak aman maka tidak boleh mengucapkan salam 
kepadanya. Namun bila seseorang mendatangi rumahnya dan mendapatkan di 
rumahnya ada wanita yang dikenali lalu ia mengucapkan salam maka tidak 
apa-apa asalkan aman dari fitnah. Demikian pula, wanita boleh 
mengucapkan salam kepada laki-laki ajnabi dengan syarat aman dari 
fitnah.” (Syarh Riyadhis Shalihin, 3/29)
Ketika ditanyakan kepada Asy-Syaikh Abdullah bin Humaid rahimahullahu
 tentang hukum mengucapkan salam kepada wanita ajnabiyyah, beliau 
rahimahullahu menyatakan tidak apa-apa mengucapkannya dari kejauhan, 
tanpa berjabat tangan. Dan si wanita menjawabnya, karena suara wanita 
bukanlah aurat. Kecuali bila si lelaki menikmati suaranya (senang 
mendengar suara tersebut, merasa lezat karenanya dan menikmatinya), maka
 dalam keadaan seperti ini hukumnya haram. Karena si lelaki berarti 
terfitnah dengan wanita ajnabiyyah tersebut.” (Dari siaran radio acara 
Nurun ‘alad Darb, sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar`ah 
Al-Muslimah, 2/965, 966)
Faedah:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu berkata, 
“Bila ada seseorang menukilkan salam dari orang lain untukmu, maka 
engkau menjawabnya dengan ucapan, ‘Alaihis salam.’ Namun apakah wajib 
bagimu menyampaikan pesan bila ada yang berkata, ‘Sampaikan salamku 
kepada si Fulan,’ ataukah tidak wajib?
Ulama memberikan perincian terhadap permasalahan ini.
Jika engkau diharuskan menyampaikannya maka wajib engkau sampaikan salam tersebut, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya.” (An-Nisa`: 58)
Berarti engkau sekarang memikul kewajiban tersebut.
Adapun bila orang itu berpesan kepadamu, ‘Sampaikan salamku kepada si
 Fulan,’ lalu ia diam tanpa ada ucapannya yang mengharuskanmu 
menyampaikan salamnya tersebut, atau ketika dipesani demikian engkau 
berkata, ‘Iya, kalau aku ingat,’ atau ucapan yang semisal ini, maka 
tidak wajib bagimu menyampaikannya terkecuali bila engkau ingat.
Namun yang paling bagus, janganlah seseorang membebani orang lain 
dengan titipan salam ini, karena terkadang menyusahkan orang yang 
diamanahi. Hendaknya ia berkata, ‘Sampaikan salamku kepada orang yang 
menanyakanku.’ Ini ungkapan yang bagus. Adapun bila seseorang dibebankan
 maka tidaklah bermanfaat, karena terkadang ia malu darimu hingga 
mengatakan, ‘Iya, aku akan menyampaikannya,’ kemudian dia lupa atau 
berlalu waktu yang panjang atau semisalnya (hingga salam itu tidak 
tersampaikan).” (Syarh Riyadhish Shalihin, Ibnu ‘Utsaimin t, 3/19)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Para shahabat bergembira dengan hidangan tersebut karena dulunya 
mereka bukanlah orang-orang yang berpunya, kecuali setelah Allah 
Subhanahu wa Ta’ala bukakan rizki untuk mereka dengan 
kemenangan-kemenangan dalam peperangan yang dengannya mereka beroleh 
ghanimah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَغَانِمَ كَثِيرَةً يَأْخُذُونَهَا
“Dan ghanimah-ghanimah yang banyak yang mereka ambil.” (Al-Fath: 19)
Dengan kemenangan-kemenangan tersebut banyaklah harta, setelah 
sebelumnya mayoritas shahabat adalah dari kalangan fuqara. (Syarah 
Riyadhis Shalihin, 3/29-30)
2 Malaikat tentunya tidak dikatakan berjenis laki-laki sebagaimana 
mereka tidak dikatakan berjenis perempuan. Karena mereka adalah makhluk 
yang berbeda dengan manusia, walaupun Allah Subhanahu wa Ta’ala 
menyebutkan mereka dengan lafaz tadzkir (jenis laki-laki). Lalu kenapa 
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu memasukkan hadits ini sebagai dalil 
tentang laki-laki mengucapkan salam kepada wanita? Jawabannya: Jibril 
‘alaihissalam mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk
 seorang laki-laki.” (Fathul Bari, 11/42)
3 Hadits ini menunjukkan bolehnya laki-laki ajnabi mengirim salam 
untuk wanita ajnabiyyah yang shalihah, apabila tidak dikhawatirkan 
menimbulkan mafsadah (fitnah). (Al-Minhaj, 15/207)
4 Hal ini menunjukkan bolehnya seorang laki-laki mandi sementara di 
situ ada wanita dari kalangan mahramnya, asalkan auratnya tertutup dari 
si wanita. Juga menunjukkan bolehnya anak perempuan menutupi ayahnya 
ketika si ayah sedang mandi, baik menutupinya dengan kain atau 
selainnya. (Al-Minhaj, 5/239)
5 Ini menjadi dalil bahwa suara wanita bukanlah aurat dan bolehnya 
wanita mengucapkan salam kepada laki-laki yang bukan mahramnya sementara
 mahram si lelaki ada di tempat tersebut. (Al-Minhaj, 5/238)
6 Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata setelah menyebutkan hadits 
ini, “Lafadz ini dibawa kepada pemahaman bahwa Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam mengumpulkan lafadz salam dengan lisan dan isyarat 
dengan tangan (mengucapkan salam disertai melambaikan tangan sebagai 
isyarat, pent.). Dan yang memperkuat pengertian ini adalah riwayat Abu 
Dawud, di sana disebutkan:
lalu beliau mengucapkan salam kepada kami.” (Riyadhus Shalihin, hal. 275)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menambahkan, “Karena salam 
dengan tangan saja (sekedar memberi isyarat dengan tangan, tanpa 
diucapkan lafadznya dengan lisan, pent.) adalah perbuatan yang 
terlarang, dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun 
menggabungkan keduanya tidak apa-apa, khususnya lagi bila yang disalami 
berada pada posisi yang jauh. Ia butuh melihat isyarat tangan hingga ia 
tahu bahwa saudaranya telah mengucapkan salam kepadanya, atau yang 
disalami adalah seorang yang tuli, tidak bisa mendengar, dan semisalnya.
 Dalam keadaan seperti ini, orang yang mengucapkan salam boleh 
menggabungkan ucapan salam dengan lisan dan isyarat dengan tangan.”
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu juga menyatakan, “Tidaklah 
diragukan bahwa perkara-perkara yang dijadikan sebagai pengganti salam 
merupakan penyelisihan terhadap As-Sunnah. Karena yang diajarkan 
As-Sunnah adalah seseorang mengucapkan salam dengan lisannya. Namun bila
 suaranya (ucapan salamnya, pent.) tidak terdengar, ia boleh 
menyertainya dengan isyarat tangan hingga menjadi perhatian orang yang 
posisinya jauh atau orang yang tuli.” (Syarh Riyadhis Shalihin, 3/20-21)
7 Ibu Abdullah adalah Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma, saudara perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anha.
8 Kebiasaan Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau tidak pernah menahan 
sesuatu yang berupa rizki Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya melainkan 
disedekahkannya. Sekali waktu beliau menjual barang miliknya lalu 
harganya disedekahkan. Maka keponakannya ini mengkritik apa yang 
dilakukannya.
9 Bani Zuhrah adalah dari kalangan suku Quraisy, dan merupakan akhwal
 (paman dari pihak ibu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
10 Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits di atas.
11 Argumen mereka adalah hadits Sahl radhiyallahu ‘anhu yang sudah 
kami bawakan di atas. Di antaranya Sahl berkata, “Kami punya (kenalan) 
seorang wanita tua….”
Sementara laki-laki yang mengunjungi si wanita tua ini dan yang dijamunya bukanlah mahramnya.
(Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=606)















0 comments:
Post a Comment