Apabila berbicara tentang
akhlaq, banyak orang yang keliru membatasi akhlaq hanya pada muamalah,
hubungan antar sesama manusia belaka. Pemahaman yang seperti ini adalah
pemahaman yang sempit dan kurang tepat, karena di luar itu masih ada
akhlaq yang jauh lebih penting yaitu akhlaq kepada sang Khaliq atau
akhlaq kita kepada Allah Sang Pencipta.
Para ulama menjelaskan bahwa berakhlaq baik kepada Sang Khaliq berputar pada tiga perkara:
- Membenarkan berita yang datang dari Allah subhanahu wata’ala
- Menerima hukum-hukum yang Allah tetapkan dengan mengamalkannya
- Menerima takdir Allah dengan sabar dan ridha
Selanjutnya kita akan jelaskan lebih detil lagi tentang tiga perkara ini.
Pertama: Membenarkan berita yang datang dari Allah subhanahu wata’ala
Maksudnya adalah seseorang
tidak boleh ragu dan bimbang dalam membenarkan berita yang datang dari
Allah, karena berita dari Allah bersumber dari ilmu Allah yang paling
benar perkataannya.
Allah ta’ala berfirman:
مَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا
“Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah?” (An Nisa: 87)
Maka wajib membenarkan berita
dari Allah dengan mempercayainya, membelanya, berjihad di jalan Allah
dengannya, di mana dia tidak dimasuki oleh keraguan dan kerancuan
tentang kebenaran Al Qur’an dan As Sunnah.
Apabila seseorang sudah
memiliki akhlaq seperti ini maka dia pun bisa menolak setiap syubhat,
kerancuan yang dibawa oleh orang-orang inkarul hadits (orang-orang yang
menentang hadits, tidak mau menerima hadits Nabi shallallahu ‘alahi
wasallam). Demikian juga dia bisa menolak setiap syubhat yang dibawa
oleh para pelaku kebid’ahan yang menambah-nambahi ajaran agama dengan
apa yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Dan demikian juga dia bisa menolak semua syubhat orang-orang
kafir yang membenci kaum muslimin.
Kita ambil contoh hadits “Lalat” yang diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً
“Jika seekor lalat jatuh
dalam minuman salah seorang dari kalian, maka hendaklah ia celupkan
lalat itu ke dalam minuman, lalu setelah itu hendaknya ia membuang lalat
itu, karena sesungguhnya di dalam salah satu sayapnya terdapat
penyakit, dan di sayap lainnya terdapat obat.” (HR. Al Bukhari, 5782)
Ini adalah berita dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perkara-perkara yang
ghaib, Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengucapkan dari
hawa nafsunya, tetapi yang beliau ucapkan adalah wahyu Allah. Ini karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia, sedangkan manusia
tidak mengetahui hal-hal yang ghaib, bahkan Allah berfirman kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
قُلْ
لا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ
وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلا مَا يُوحَى إِلَيَّ
“Katakanlah: aku tidak
mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak
(pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan
kepadamu bahwa aku seorang malaikat. aku tidak mengikuti kecuali apa
yang diwahyukan kepadaku.” (Al An’am: 50)
Berita, hadits tentang lalat
ini wajib untuk kita terima dengan akhak yang baik. Dan berakhlak baik
terhadap hadits ini adalah dengan menerimanya serta menetapkan bahwa
hadits yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
benar, walau pun orang-orang menentangnya
Demikian pula kita yakin
dengan seyakin-yakinnya, bahwa pendapat yang menyelisihi hadits shahih
dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam adalah pendapat yang keliru
dan batil, hal ini karena Allah berfirman :
فَذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلا الضَّلالُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ
“Maka (Zat yang demikian)
Itulah Allah Rabb kamu yang sebenarnya; Maka tidak ada sesudah kebenaran
itu, melainkan kesesatan. Maka Bagaimanakah kamu dipalingkan (dari
kebenaran)?” (Yunus: 32)
Kedua: Menerima hukum-hukum yang Allah tetapkan dengan mengamalkannya
Tidaklah sepantasnya bagi
seseorang untuk menolak hukum Allah. Apabila seseorang menolak hukum
Allah maka apa yang dia lakukan adalah bentuk akhlak buruk kepada Allah.
Sama saja penolakan itu dalam bentuk pengingkaran, atau sombong tidak
mau mengamalkan, menolak atau menyepelekan pengamalannya. Ini semua
merupakan akhlaq yang jelek kepada Allah subhanahu wata’ala. Kita ambil
contoh syariat puasa. Tidak diragukan lagi bahwa puasa adalah amalan
yang berat bagi jiwa kita. Ketika berpuasa kita meninggalkan
perkara-perkara yang kita sukai seperti makanan, minuman, dan jima’. Ini
adalah suatu perkara yang berat.
Bagi seorang mu’min, ia akan
berakhlak baik kepada Allah dengan menerima beban syariat ini, atau
dengan kata lain dia akan menerima kemuliaan ini. Karena hakikatnya
syariat puasa ini adalah nikmat dari Allah. Maka seorang mu’min akan
menerima pensyariatan ini dengan lapang dada dan ketenangan. Kita akan
mendapati orang-orang yang beriman berpuasa pada siang hari yang panas
sedangkan ia dalam keadaan ridha, lapang dada, karena ia berakhlak baik
kepada Penciptanya. Sebaliknya orang yang berakhlak buruk kepada Allah
akan menerima ibadah seperti ini dengan keluh kesah serta kebencian. Dia
pun berpuasa dengan penuh keterpaksaan, atau bahkan tidak berpuasa sama
sekali.
Ketiga: Menerima takdir Allah dengan sabar dan ridha
Kita semua telah mengetahui
bahwa takdir-takdir Allah yang menimpa mahluk-Nya tidak semua sesuai
dengan keinginan si hamba. Ada sesuai dengan keinginan kita, adapula
yang bertentangan dengan keinginan kita. Misalnya sakit, keadaan seperti
ini bukan keinginan kita. Semua manusia tentu ingin sehat.Contoh yang
lainnya misalnya kemiskinan. Ini juga bukan keinginan kita. Setiap
manusia pasti ingin hidup kaya atau berkecukupan.
Akan tetapi takdir Allah
dengan hikmah-Nya bermacam-macam, sebagian ada yang disukai manusia dan
ia pun berlapang dada dengan takdir tersebut. Dan sebagian lagi tidak
disukai manusia. Maka akhlak yang baik kepada Allah berkenaan dengan
takdir-takdir-Nya adalah dengan ridha dengan apa yang Allah takdirkan.
Merasa tenang dan lapang dengan takdir tersebut serta hendaknya kita
menyadari bahwa tidaklah Allah menakdirkan bagi kita seseuatu melainkan
karena hikmah dan tujuan yang terpuji serta patut kita syukuri.
Jadi inti dari akhlak baik
kepada Allah dalam perkara takdir adalah ridha, dalam bahasa jawa sering
dikenal “nrimo” atau berserah diri, dan merasa tenang dengan
takdir-takdir Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu Allah ta’ala
memuji orang-orang yang bersabar di dalam firman-Nya:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ
بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ
وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (١٥٥)الَّذِينَ إِذَا
أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ
رَاجِعُونَ (١٥٦)
“Berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna
lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (Al Baqarah: 155-156)
Demikianlah sedikit pembahasan
tentang bagaimana akhlaq kita kepada sang khalik, insya Allah di
tulisan yang lain, kita akan membahas bagaimana akhlaq kita kepada
sesama manusia. Wallahu ta’ala a’lam, semoga shalawat serta salam
tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam. (bersambung)
Referensi:
- Makaarimul Akhlaq karya Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
0 comments:
Post a Comment