Istiqomah

Memperjuangkan Sunnah diatas manhaj salaful ummah
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwFY0f3LiS3cTkJhAPozNJrHApX6lFx0vRmqzxn8IqezQUevVplc9pNlFitwkYykwpv1-r48bbeQJWqNzixvMPOGeOnNjtO-UNox5r1ra0S29rL1Zp09by20K4w8FaddFP9r2dWevvWbY/s1600/bunga-mawar-pink.jpg

  • Adab-Adab Berbicara Bagi Wanita Muslimah
  • Wahai saudariku muslimah.. Berhati-hatilah dari terlalu banyak berceloteh dan terlalu banyak berbicara.

    http://www.salafy.or.id/wp-content/uploads/2012/11/ilustrasi_101020100017-230x200.jpg

  • Beberapa Kisah Yang Menyedihkan
  • Keadaan pribadi Nabi juga sangat menyedihkan. Apalagi kaum musyrikin betul-betul dendam kepada beliau. Beberapa prajurit musyrikin berusaha mendekati beliau, ada yang berhasil memecahkan topi baja beliau sehingga melukai kepala dan menembus pipi beliau serta mematahkan gigi seri beliau.

    http://fitrahfitri.files.wordpress.com/2010/10/images1.jpeg

  • Bahasan Singkat Tentang Menutup Aurat
  • Propaganda musuh-musuh islam senantiasa dan semakin dilancarkan dalam segala sisi kehidupan. Hal tersebut telah ter-nash-kan dalam Firman Allah Ta’aala berkaitan dengan sifat yang dimiliki oleh musuh-musuh islam dari kalangan ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani).

    http://1.bp.blogspot.com/_XovKUH-N0SA/TPHLHtMPIPI/AAAAAAAAAoM/XwsXjIMDeFs/s400/Pencil%252520on%252520pad%252520of%252520paper.jpg

  • ANasehat Untuk para Pendidik (Pengajar)
  • Sesungguhnya pentingnya peran pengasuh (pendidik) sangat besar sekali, amalnya termasuk amal-amal yang paling mulia apabila di tekuni dan ikhlas karena allah dan mengajar para siswa dengan pengajaran islami yang benar.

    http://www.colourbox.com/preview/3089788-135191-book-and-pencil-on-white.jpg

  • pengajaran-akhlak-ala-rasulullah.html
  • Rasulullah Shallallahu’alaihiwassalam adalah contoh panutan dalam setiap aspek kehidupan. Beliau Shallallahu’alaihiwassalam senantiasa memberikan contoh aplikatif sehingga mudah untuk di laksanakan setiap orang. Bagaimana beliau Shallallahu’alaihiwassalam berinteraksi dengan anak -anak, merintahkan meraka, bermain bersama dengan mereka, berlemah lembut pada mereka, tidak pernah marah, membentak apalagi memukul.

    Sebuah Ruang Berdindingkan Ketenangan


    https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSi3uKFfyXydMfJDZ0gGn8YAB6gRhQu8ubGXZ-hCHggen3hZL6wditulis oleh Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai
                Dengan kecepatan sedang,sebuah mobil Avanza berwarna hitam menemani kami menyibak jalur yang cukup padat ke arah kota Surakarta.Sisa-sisa kegembiraan kaum muslimin setelah berbuka puasa selepas maghrib hari itu masih nampak hangat terasa. Malah,semakin dekat dengan lokasi rumah saya,seolah jalan semakin menyempit karena kesibukan kaum muslimin untuk berangkat taraweh. Namun,kecepatan mobil tetap sedang.
                Hanya kami berdua di dalam Avanza hitam itu. Saya dan seorang sopir yang “bertugas” antar jemput. Sopir mobil ternyata bukan sembarang sopir. Sopir itu,dalam kesehariannya,adalah kepala bidang ekonomi di BAPEDA sebuah kabupaten yang cukup luas wilayahnya. Saya juga sempat terkejut dan berpikir,”Luar biasa bapak ini! Mau-maunya melakukan tugas antar jemput”.
                Nah,di celah-celah sempit dari ruang waktu yang ada antara Polokarto-Sukoharjo,ada selembar diskusi menarik antara saya dan bapak itu. Kata-kata dari bapak itu,sangat tersusun rapi dengan nada dan intonasi yang memancarkan ketulusan. Sampai-sampai,kata-kata tersebut mampu memecahkan kebekuan hati.Sungguh!
                “Ustadz,saya senang sekali mendengarkan bacaan Al Qur’an. Saya dapat merasakan keteduhan.Kadang-kadang saya menangis sendiri jika menikmati bacaan tartil Al Qur’an. Sungguh-sungguh memberikan keteduhan!”
                Kata-kata di atas kemudian terngiang terus di telinga. Memang benar,Al Qur’an bisa memberikan keteduhan dan ketenangan.Saya pikir,tidak semua orang telah mencapai tingkatan seperti sang “sopir” dalam penggalan kisah di atas.  Saya yakin,belum tentu setiap orang berhasil merasakan keteduhan dengan sebab bacaan Al Qur’an.Bagaimana dengan Anda?
                Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits di dalam shahihnya dari sahabat Al Bara’ bin ‘Azib;
                “Malam itu ada seorang sahabat membaca surat Al Kahfi.Di dekatnya ada seekor kuda miliknya yang diikat dengan dua utas tali cencang.Kemudian,ada segumpal awan tipis turun menaungi.Awan tipis itu terus berputar bergerak turun,sementara kuda miliknya melompat-lompat seolah ingin lari.
                Keesokan hari,sahabat tersebut datang menemui nabi Muhammad dan menceritakan peristiwa semalam.Setelah itu Rasulullah bersabda,
    تِلْكَ السَّكِينَةُ تَنَزَّلَتْ لِلْقُرْآنِ
    “Itu adalah keteduhan yang turun karena Al Qur’an”[1]
                Kejadian nyata yang dialami sahabat nabi di atas sejatinya menjadi sebuah jawaban penting untuk kita yang selalu bertanya dan mencari-cari jawaban,”Di manakah aku bisa hidup tenang? Ke manakah aku akan mencari sebuah keteduhan?”.
                Apalagi saat kejenuhan telah menjajah hati dan pikiran. Urusan dunia yang menumpuk laksana sebuah menara memang tiada pernah ada akhirnya.Berkutat dan terus berkutat dengan masalah.Walau hidup tak mungkin bebas dari masalah namun kita pasti memiliki titik nadir dari semangat. Di situlah letak penting sebuah keteduhan. Lalu,di manakah kita akan mendapat keteduhan?
                Sabda nabi Muhammad di atas semestinya menyadarkan kita,jika Dzat yang telah menciptakan manusia tentu Maha Mengetahui kelemahan dan kebutuhan hamba Nya.Allah mengetahui,dengan ilmu Nya yang sangat luas,bahwa kita pasti sering mengalami kejenuhan dan kebosanan hidup.Kita membutuhkan ketenangan dan keteduhan. Dan Allah telah memberikan jalan.
                Membaca Al Qur’an pasti menghadirkan ketenangan.Mendengarkan bacaan Al Qur’an tentu menaungkan keteduhan.Percaya ataukah tidak,seperti itulah faktanya! Cobalah,tentu Anda akan merasakannya!
                Usaid bin Khudair,seorang sahabat,pagi-pagi benar telah menemui Rasulullah.Ia menceritakan kepada Nabi jika semalam telah melihat semacam bayangan,di dalamnya seperti pelita-pelita bercahaya.Lalu bayangan tersebut naik membumbung tinggi ke angkasa hingga tidak terlihat lagi.Peristiwa itu terjadi saat Usaid bin Khudair sedang membaca Al Qur’an.
                Lihatlah jawaban dan keterangan nabi Muhammad! Beliau yang berbicara atas nama wahyu langit.
              تِلْكَ الْمَلَائِكَةُ كَانَتْ تَسْتَمِعُ لَكَ وَلَوْ قَرَأْتَ لَأَصْبَحَتْ يَرَاهَا النَّاسُ مَا تَسْتَتِرُ مِنْهُمْ
                “Itu adalah para malaikat yang turut mendengar engkau membaca Al Qur’an.Seandainya engkau terus membaca sampai pagi,pasti orang-orang akan mampu menyaksikan malaikat-malaikat itu.Mereka tidak akan bersembunyi dari manusia”[2]
    Subhanallah!
                Malaikat pun turut hadir untuk mendengarkan Al Qur’an.
                Boleh-boleh saja kita bertanya,”Tidakkah hal ini khusus untuk sahabat? Bukankah yang semacam ini hanya ada di zaman nabi? Apa mungkin terjadi pada kita yang hidup di akhir zaman?”.Ya,pertanyaan semacam ini wajar sekali.
                Imam An Nawawi menerangkan bahwa hadits di atas adalah dalil tentang keutamaan membaca Al Qur’an.Qira’atul qur’an juga menjadi sebab turunnya rahmat dan hadirnya para malaikat.
                Hanya saja,apakah bacaan kita seperti bacaan Usaid bin Khudair? Baik keindahan maupun benar tidaknya kita mengucapkan huruf dan ayat-ayat Al Qur’an? Seandainya di dalam membaca Al Qur’an,sudah benar dan indah bacaan kita bahkan mampu menghayati dan meresapi setiap maknanya,barangkali kita bisa berharap.
                Namun,sudah benarkah Anda dalam membaca Al Qur’an? Benar-benar indahkah bacaan Anda? Silahkan menjawab sendiri.
                Bisa juga kita mengukur kebenaran iman dari bacaan Al Qur’an.Caranya? Sangat mudah.Mampukah kita merasakan ketenangan dan keteduhan di hati dengan membaca Al Qur’an? Itu saja.
                Allah berfirman,
      الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
    (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. 13:28)
                     Maha benar firman Allah! Tidak setitik pun ada ragu di dalam hati.Dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.Dzikrullah banyak macam dan bentuknya,salah satunya adalah dengan membaca Al Qur’an.Bahkan,membaca Al Qur’an menjadi pilihan terbaik hamba untuk mengingat rabbnya.
                Sedih.Di satu sisi berbahagia.
                Sedih? Melihat kenyataan saudara-saudara kita yang “salah” jalan untuk mencari ketenangan hati.Banyak pilihan memang tapi hanya ketenangan semu.Sementara waktu saja sifatnya.Bukannya memberi ketenangan malah justru menambah kegelisahan.
                Masih ingat dengan cerita seorang pilot yang memakai shabu-shabu? Ternyata itu bukan cerita baru.Para pelatih dan pendidik siswa penerbangan turut mengamini tentang adanya kemungkinan itu terjadi.Sebab,di udara,seorang pilot pesawat memiliki beban dan tekanan tanggung jawab yang berat.Apalagi saat menghadapi cuaca ekstrem.Belum lagi jika memiliki masalah pribadi atau terkait keluarga.Oleh karena itu,secara berkala selalu dilakukan tes urine untuk para pilot pesawat.
                Apa pengakuan dari pilot yang menggunakan shabu-shabu itu? Ingin mencari ketenangan,biar teduh hatinya.Sayang,salah jalan.
                Bukan hanya pilot! Anak-anak muda sampai para pejabat,ada bahkan banyak di antara mereka yang memilih obat-obatan penenang untuk sekadar “terbang”,melupakan masalah.Namun,itukah jalan keluarnya? Tidak! Sekali lagi,mereka salah jalan.Astaghfirullah
                Pernah mendengar aksi bunuh diri? Sering.Ada yang akhirnya “berhasil” melakukan bunuh diri,ada juga yang gagal.Ada yang mengaku sendiri,entah melalui surat yang ditinggalkan atau melalui sms,juga ada yang berdasarkan penuturan teman dan kerabat.Kira-kira hampir semua beralasan ingin mengusir kegalauan,ingin mengakhiri penderitaan.Agar lebih tenang.
                Dusta! Itu bohong belaka.Agama tidak mengajarkan demikian.Agama membimbing dan mengarahkan kita untuk tegar dan tabah di dalam menjalani semua masalah dan problem.Bukan dengan jalan “pintas” menyesatkan ; bunuh diri.
                Untuk mencari ketenangan hati dan keteduhan jiwa serta pikiran,ada jalannya.Ingat-ingatlah Allah! Dekatkan diri kepada Nya! Bacalah firman-firman Nya! Anda pasti akan tenang.
                Di sisi yang lain,ada rasa bahagia.
                Sebab,kini kita sama-sama tahu jika dengan membaca atau mendengarkan bacaan Al Qur’an,hati pasti akan tenang dan jiwa pun tenteram.
                Sekarang,bersiap-siaplah untuk memasuki dan menikmati sebuah ruang yang beralaskan dan berdindingkan ketenangan! Baca dan dengarkanlah Al Qur’an!

    [1] Muslim (795)
    [2] Hadits Abu Said,Bukhari (5081) Muslim (796)

    Dauroh Ma'had Daarus Salaf Solo Ahad 25 November 2012

    Bismillah
    Hadirillah
    Dengan Mengharap Ridho Allah ta'ala Semata
    Dauroh Ilmiah Rutin Ahad ke-4
    tema: Benang Merah antara Syiah Yahudi dan Nashrani
    bersama : Al ustadz Muhammad Rijal Lc
    waktu dan tempat:
    Ahad , 25 November 2012
    Jam 09.00-selesai
    di Masjid Ibnu Taimiyah kompleks Ma'had
    daarus Salaf.Jln.ciptonegaran,Sanggrahan,Grogol,SKH 57552

    Dipancarkan melalui:
    Radio daarus salaf 88.3 fm

    steriming online
    Insya.Allah dauroh ini akan disiarkan Live di internet melalui 
    PALTALK diroom Religion and Spritualy-islam-daarus salaf Fm
    -Insya.Allah http://assalafysolo.blogspot.com

    Penyelenggara:
    Ma'had Daarus salaf,Sanggarahan,grogol Sukoharjo
    Informasi:081559582818


    Tiga Landasan Akhlaq Mulia terhadap Sesama

    http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSg9z6XhX7dx-xsuCGMDSanEnYFtQxP_vIwRTF7vO5k4L0a0UsneV5LwXGorwOleh: Abu Umar Al Bankawy
    Setelah kita mengetahui bagaimana berakhlaq yang baik terhadap Sang Khaliq, sekarang kita akan beralih ke pembahasan bagaimana berakhlaq baik kepada sesama makhluq.
    Para ulama, di antaranya Al Hasan Al Bashri mengatakan bahwa akhlaq yang baik terhadap mahluk berputar pada tiga perkara pula, yaitu:
    كَفُّ اْلأَذَى ، وَبَذْلُ النَّدَى، وَطَلاَقَةُ الْوَجْهِ
    1. Menahan dari gangguan (Kafful Adzzaa)
    2. Suka membantu (Badzlun Nada)
    3. Wajah yang berseri (Thalaqatul Wajh)
    Pertama: Menahan dari gangguan (Kafful Adzzaa)
    Maknanya adalah bahwa seseorang menahan dirinya dari mengganggu orang lain, baik itu gangguan yang berhubungan dengan harta, jiwa, maupun kehormatan. Orang yang tidak bisa menahan dirinya dari mengganggu orang lain, maka ia tidak mempunyai akhlaq yang baik, dan ia berakhlaq jelek. Ketika berlangsungnya Haji Wa’da (Haji Perpisahan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda sejumlah besar umat beliau,
    فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا وفِي بَلَدِكُمْ هَذَا
    “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian serta kehormatan kalian haram atas kalian sebagaimana keharaman hari kalian ini, pada bulan kalian ini, di negeri kalian ini.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
    Jika seseorang berbuat aniaya kepada manusia dengan melakukan pengkhianatan, atau berbuat aniaya dengan memukul, dan kejahatan, atau berbuat aniaya kepada manusia dalam kehormatannya, atau mencela, atau ghibah, maka hal ini tidak termasuk berakhlaq baik kepada manusia, karena ia tidak menahan diri dari mengganggu orang lain. Dan dosanya semakin besar manakala perbuatan aniaya itu dilakukan kepada seseorang yang mempunyai hak paling besar dari Anda.
    Misalnya jika seseorang berbuat jahat kepada kedua orangtua, maka dosanya lebih besar, dan akan lebih besar daripada dosa perbuatan jahat kepada selain mereka. Perbuatan jahat kepada karib kerabat lebih besar dosanya daripada dosa perbuatan jahat kepada orang yang lebih jauh hubungan kekerabatannya. Perbuatan jahat kepada tetangga lebih besar dosanya dari perbuatan jahat kepada selain tetangga. Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
    وَاللهِ لاَ يُؤْمِن، وَاللهِ لاَ يُؤْمِن ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِن
    “Demi Allah, tidaklah beriman! Demi Allah, tidaklah beriman! Demi Allah, tidaklah beriman!”
    Para sahabat bertanya, “Siapa yang tidak beriman wahai Rasulullah?”
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
    مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بِوَائِقِهِ
    “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya”.
    2. Suka Membantu/Dermawan (Badzlun Nada)
    Makna “Badzlun Nada” adalah bersikap dermawan dan suka membantu. Kedermawanan di sini tidaklah seperti yang dipahami oleh sebagian orang bahwa terbatas pada harta saja. Tapi yang dimaksud kedermawanan di sini adalah mendermakan jiwa, kedudukan, dan harta.  Jika kita melihat seseorang memenuhi kebutuhan manusia, membantu mereka, menyebarkan ilmu di antara manusia, mendermakan hartanya kepada manusia, maka kita pun akan mensifati orang tersebut sebagai orang yang berakhlaq baik, karena ia adalah seorang yang dermawan dan suka menolong. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
    “Bertaqwalah kepada Allah di manapun engkau berada. Ikutilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan perbuatan jelek. Dan bergaul-lah dengan manusia dengan akhlaq yang baik.” (HR. Ahmad, At Tirmidzi dan Ad Darimi)
    Dan termasuk dalam sifat ini adalah jika Anda dianiaya atau dipergauli dengan perbuatan buruk, maka Anda pun memberi maaf. Sungguh Allah telah memuji orang-orang yang memaafkan kesalahan manusia, Allah berfirman tentang penghuni surga,
    الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
    “(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran:134)
    Allah ta’ala berfirman,
    وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
    “Dan jika kalian memaafkan maka itu lebih dekat kepada takwa.” (Al Baqarah: 237)
    وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا
    “Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada.” (An Nur: 22)
    فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
    “Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah” (Asy Syuura: 40)
    Dalam berhubungan dengan sesama manusia, seseorang pasti akan mengalami suatu gangguan. Maka dalam menghadapi menghadapi seperti ini, hendaknya dia memaafkan dan berlapang dada. Dan hendaknya ia berkeyakinan kuat bahwa sikap pemaaf dan lapang dada serta berharap untuk mendapatkan balasan kebaikan kelak di akhirat bisa merubah permusuhan antara dia dengan saudaranya menjadi kasih sayang dan persaudaraan.
    Allah ta’ala berfirman,
    وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
    “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman setia.” (Al Fushilat: 34)

    Ketiga: Wajah yang Berseri (Thalaqatul Wajh)

    Yaitu seseorang selalu berwajah ceria, tidak bermuka masam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
    لا تَحْقِرنَّ مِنَ المَعرُوفِ شَيئاً وَلَوْ أنْ تَلقَى أخَاكَ بِوَجْهٍ طَليقٍ
    “Janganlah meremehkan sesuatu kebaikan sekecil apapun, walaupun engkau berjumpa dengan saudaramu dengan wajah berseri-seri.” (HR. Muslim)
    Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya tentang apa itu kebaikan. Beliau menjawab, “Kebaikan itu adalah wajah yang ceria dan lisan yang lembut.”
    Berwajah ceria akan memasukkan kegembiraan pada manusia, mendatangkan rasa kasih sayang dan cinta, mendatangkan kelapangan dalam hati, bahkan mendatangkan rasa lapang dada bagi Anda sendiri dan orang-orang yang Anda temui. Sebaliknya, jika Anda bermuka masam, maka manusia akan menjauh dari diri Anda. Mereka tidak akan suka untuk duduk bersama dan bicara dengan Anda. Dan bisa jadi karena ini Anda ditimpa stress dan tekanan jiwa. Wajah yang ceria dan berseri adalah obat yang mencegah dari penyakit stress atau tekanan jiwa.
    Tahukah Anda kalau para dokter menasehati orang yang ditimpa penyakit stress untuk untuk menjauhi dari perkara-perkara yang bisa memicu amarah, karena amarah hanya akan menambah tekanan jiwanya? Sebaliknya wajah yang ceria akan mengobati penyakit ini, karena orang-orang di sekitar Anda akan mencintai Anda dan Anda menjadi mulia di sisi mereka. Ini adalah tiga landasan akhlaq mulia, di mana pada tiga hal inilah berkisar sikap berakhlaq baik dalam bermuamalah dengan mahluk yaitu:
    1. Menahan dari gangguan (Kafful Adzzaa)
    2. Suka membantu (Badzlun Nada)
    3. Wajah yang berseri (Thalaqatul Wajh)
    Semoga bisa bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab. (bersambung)
    Referensi:
    - Makaarimul Akhlaq karya Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

    Bagaimana Akhlaq Kita terhadap Sang Khaliq?

    data:image/jpeg;base64,/9j/4AAQSkZJRgABAQAAAQABAAD/2wCEAAkGBhQQEBUSEBQUEBQQFRUQDxYVFhQUFRQUFBQVFhQUFRUXGyYeFxkjGRQVHy8gIycpLCwsFR4xNTAqNSYrLCkBCQoKDgwOGg8PGikcHxwpKSkpLCkpKSkpKSwpLCkpKSkpKSkpLCkpKSkpKTUpLCkpKSkpKSwpKSkpKSksKSksKf/AABEIALEBHAMBIgACEQEDEQH/xAAcAAACAgMBAQAAAAAAAAAAAAAAAwQFAQIGBwj/xABGEAABAwIDBQYCBwUGBAcAAAABAAIRAxIEITEFBkFRYRMiMnGBoZGxIzNCUsHR8AcUFXKCNGKSouHxFmOTsiRDRFNUs8L/xAAaAQEBAQEBAQEAAAAAAAAAAAAAAQIDBAUG/8QAJxEAAgICAgIDAAAHAAAAAAAAAAECEQMSITFBUQQTMgUUIjNhcZH/2gAMAwEAAhEDEQA/APZrkXJN6L131MWPuRKSHrN6UB0ouSb1kPU1A2Vm5KvRelAbKJS7kXKagbcsSl3IuSgNlEpVyLkoDZRKVci5KAyUSl3IvTUDJRKXci5NQMlEpdyLk1AyVi5aXLFyUBlyJSrli9WgNLli5KvRerQG3IuSS9FyagcXLF6VesXq6gdcsXpNyLk1A4vQHJFyLldQLvWbki5ZuXXUyPuRek3IuU1A8OWb1HuRcmoJF6L0i5F6agfcs3qPes3qagkXovUe9ZvTUD70XpF6L1NQPvRekXovTUD71i9JvWL1dQPvRekXovTUo+9F6Resl6agdesXJN6L01A65YvSr1i9XUg25FyTci5NQNuRelXIuVoo29FyVciUoDL1i5LlEpQGXIuSpW1yUBUrMpdyLl0IbyiVi5EoDMolYlEoDaUStZQgNpRctVmUoGblm5Qtp7Tp4ak6rVNrGa8SSdABxP8AqeC5Q/tHpEOf2lNgbPcImpHAhuZcY/2C4ZM0YFUWzuLkXLzB37XSWyxoMmGy2HEEHvWtuBjKRl5hJrb9vxLm213USJJpgBsE5Q4hzIOmpJE6Z5838lei6nqtyL1xbdrVwwOpvrPuAMQx8AxmXVMgIM/qEtm+z6WVQtfEgl7RS04lzCRn5cMpWV8uL7Rr62dvci5c1szfzDVg3vWXG2ZDmAkwJcPDJ5gexjpF6oyUujDVGbkXLC1ceS2Q2c+Nckl+OaAZMQq3adZxMaDl+aqntPDMfoaLDlRaLxu1RBzzAA5ZzBIVjTqSAfiuOa0gq/2XWJyMwAonYZZ3c8kSoO0KuUD1TqVchgLteK2QkgoJS2VQRK2QGxQFiUSgNlhYlEoDKFiVglCmyLlpciUAoBbAKOsqkJELKjhCAkISEICQiVHQgJErWpVa0EuIaAJJJAAA1JJyASSuP/aNjHijTosz7ZzjUAnwsDbfS5wP9IWZOkWjl/2h72/vLnMYYos7rJnvuyl5GsEiAMu7PMriztU1jBcGkGTlbdEgAzwAGnUqVj6cloMtbnMkjJvuAcxpyzSMXgHFktEEnvsIExOgAGQ/BeKUbdm1wb06IJmA0ak8MtSDwyiefWVphdvVKLi1tVwaJh0OkDXLMEDLQEBOc+IJce7JhgnM9JzzPkPRQMVhi7MNAuz1tdlGeWQPnOmqiiaOgo7zVHZtxXiILw9roI6GCQ6ORjLkpG0NpUqzO++0RqLmAjmR4Tw4Lh6tSmw+EPcM/FcPi06qWNqBw1I5gta6Tp04TxkfKfWgpF1gWUQ66nVvIydo2Z1kHMjThC9U3E3vZXptw9R0VaYDGTpUaALYM5uAkdbecgeH2U3mRcDqYGQPHjkrLA1DStewuJYQZJtLc5GYOQnMHrK7R/p6Mvk+j5S6jjwXO7rbzDGU+9DKrQC4AiHt/wDcb0nUcD5hXsr0p2jmR6+HLtYSP3J3RTiVrepRbIP8NKczDvAgGPKAn3rcFKBGOGedXE+eakC6IMEaLYuRKUQ2aTER7pzSo8olaBJlEqNciUKSZRKjXLBcgJUrEqMHFFyAkIUe5FyAXcs3JNyLlSDrkXJVyLkA65FyTKzcgG3IuVVtLeCjhnMbXeKfa3BhMx3QJkjQZgT1UnD49lQTTe14OhaQfks7Lqzp9U62rgmXKg3t2b29NhBLSwmC1rnmDGUA8wOa3qb34RtXsjXp33WRP2jwLvCPirKu/LUDzMe6NqSI4Sj2jx7atCuxwBbWMF2RY8GDGenT2UWpi6rMy14IgElp0nqu+3koUnN+lqWt1jtiB84XG4vD0Mwx4cD4SaxPpk0+4K80lRUVOIN4z5h2g1HMAZ6cVWYrBBziYJJJJAHGOAAy8l0bsG0NBD6JPFtz3GOncGaRhtjuqZixs6do0H4SAPdY5Rrg5d+yXTABPmIK3ZsgjM5Quu/4cayC/EUWnLLsbh7VPkpZ2XRIF2Ipt5EU6rD7vVtko5SiLRaf9fzVxsbZFSq6WAC4DNxBy9z7K1w27FJzu7iMO4H7xcT8A4ldfsTdxlGC11Mn+R8dYJA+a6RiyMsN2N3v3doNSC8aERAkRpGsSJ6roblHpZcQfIR+JW5cvQlRzB7j+jCWZ5f5ih5HMesJRePvM+IUYMyeX+cqTTcf0ZUIkc2H1apVM+SiKNc9ZDklxW1ypBtyLkq5FyoGyi5KuRcoUZci5LuRcqBsrFyXci5AMlFyXci5AJlFyVeshyAYHLaUq5FyAZcue3r30p4EBpHaVXCWM0AH3nHgPcx6q9Ll4zvpUvxtdzvsvLB5NgAfALy/JyuEePJ9D+H/ABlnyO/Cs02pvHVxZDqjjLQWtIhsAkmMtR+s1CobVdSMED1AMjz4hVFTFAmMxGkKVSqZWuIcDmD+tCvlvbtn6THlj+ILr/hrXxIFQhwkcIyMHyXq+5W+DKtFtCo76Wm2GzrUa0GP6gBHWOq8i2k6wtjhx6cFKw1XIPZy+BGa6wyuHK8nkyYo55SxS7XXs9wr4qm8kNN77Q61nfcAYiQDI1UYvqDRtX/ov+ZqhUX7ONqX4NxDHF7arm1C1rTOTS2QXN4E+6u6mOaCbwGc76VL8axX0U7imz81OOkmjBxzhk5teOlNoH/2EpdTaNEGHODTqQ51BrvUVK7UfvFM6FnozBt/7rlj9/Y37Xwfs9v/AOAtcGRlPGUHDWk4damDj2qvTZw8f+nbH9+m4/BjAlt2uOFR3kMRggmVMa8Nm6oOIJr4aJ4TA0UuK8gZhDRMEFmcEFoLfmVZspMOYDT1ycfiuFwO/NOgDTxj3BzXFrTTquLSz7Jta6RGmavsHv1gqmTcQyeTiQfdWGSLRGvR0QKzco1DGMqCWOa8f3SD8k25dbRKNyAVoaY5LF36/RWpPT5fmhAFNo0A9A3805pCTPQey2BUBu4SsgpZqLNyAZci5LlYuVA25FyVKJQo25FyVci5ANuRclSi5AMuRcl3IuQCpWJXN1N+6AJycADE5Z+Q1K2ob84Z5gOdn4csj5OmPisKSZaOjQomFxoqNubPLPIpznGMjHWJWgOleQ76542vlHeAPXuNl3rqvWWuPHPrp7Lid/diuc4YhoubaGVYjux4XHmM46QF4vmRbha8H1/4PkjHPUnVqjzHFUwBAb6rd7baY8vnKsK+AGs5cjoqvGuAMXTOsaAcgvnwe1I+v8nF/L3J+eAxL7mNnWI/JNwz7WAdc1GfXkA/4R04JNWrlC6a3weL71FufmqO6/ZvRfUFcU67qAaWPIDLyZuAORHIfFdozAYg6Y6pl/yCPmV51+zVxOLDWPNNzmnMcbYcQ5ujhAOR9l6rgtpufWqUXsLHUmtfMy1wcXAOaSNO6eM6zpn7IYoy7R8TPTlfshfwzE//ADqnX6IT6ZrD9l1vtY3Fnoxn5MKvHNP3nDys/FpQGH7zj/g/Bq6/TD0cCjbu813jq45/R1RzB8mlSGbo4X7VIv0PfqVX6cw55BVtb5/ryWf1qtLFBeBRphcDSpC2lTp0wcyGta2fOBml4rZFCrlVo0qn81NjvchSL0XrqqXQOexG4OFJuoiphHah1B7m5/ymW+yosRvDjMFWFKm/+KsOttN3asPJzmSJj5cF1G0Q91em18nDlrrwJjtBBb2kZ2wDxiYBCnYWoxrQ2na1oAhogQPIcVlqynOD9oQb/aMLiqHOaTiPjAUjD/tCwL//AD7DyeHNV5X2jTp+Ooyn/M9rPmQq7E7WwlQQ51Kt5MNf/ta5KfsD6G8eFf4K9N39Y/FTqeLY7wuDvIgrx3eDYTn4mo7DYdzmOd3IwtRoAgDIFgAGR4KXsndnFHIYW3PxOikB8VlyadFpHrmvNZlcpsjduqz61zGD/luqOPuQF0VGjboXGObifmVtNshJuRclo9VogztEXpfqhAMvRelolAMvR2gSiUIUd2gReEq4rFxUB5lsWk7H0i6lWbcwkPbUBBE6Zg5jI59NFdbB3fNOG1n0ngTJbfcTyukAD4qFTwWFbU7RjLXO1Lb2j/DNo+C5bajar6znX1rLiwWyAIOQMEAcI5rlGXJWex02ACGiIWH4ho1cB6heX4TbVPDsmtXrve6RTYXVXCPiQSfNUlbeB+IrWOecPTmGC3vE8LsxmtOfNIUevVtvUWNLnPta0SSeSjt3pwlS9vasda0l7XcWxJgOHey5SvOMPh+yB/8AEPDni2pcxxuk/wB4kDJPwTaZpup0rXmoLSWsZUBBOZeSAWT0iOqjfssTG9RwVV92FqCi9zR9GWFlKZ8RJybI4ARlOWa4urLT3hPI/ZPUEZELsKm4wLSXObTP2Rc93lwy91zlbCPw7yx7XDI5XAtcDoRlmPyXlai3wdnmnxbITHl5MDQT5BdbsHdenWpNqsaMQ/V9PtWsLY5hzI5ZZ66o3WwbKlMltMXiQ972AtMnRvpwhdHS2W9neo1XUHajs3EMMcXUj3XeUDzVhqnyJzclydLsGm1rP7OMKdCIpZ+Tqeo84T6G2g/E1MMGuDqTGVC4+F1/AeX58lSs3mqMaQ91B5b4j9Kw/wDTAfPo5RcFt577qjCXiRMttIB4AF5mAM16XI40dp5rBcqjB7WLhLtOMiP8xMKeK4Db3wwAEk3AtA53ZcFdjJIuWLwoFTabbL6Y7UES0tIg+vLqudO9Vdz7WNo5HPNzoHIkZBLKdlI5KFjtr0qAmq630cfkFHrbfp0wL302E8H1A0fGCtGbcvE0qmGI59q5w9mhNhRth94RXaThmF5Gl/0Y9+97Kn27uzXxzmHEVaVFtKS1tJj3HvRMveROnABW9HZ7apuqVGVJ+yynRDR5Etc4+pTGbCptdcw1GnpVqNb/AIWuDfZHyDGz9lspAANpkNAEik1rj1LpJJVq2vwzVPidusp90G4jIySfdQv+LwMy1secfNZ3S4FM6XtQjtAuaZvvS0c056WwfbirvDYptRtzDI/WS0pJ9EolGqFkVklErdgd2qO0CSsSEsUSL+qL0iUT5KWB/aLIcoxcsXFWwSi9F/VRpKJKAk3LF6jysqA5N2EvByAB5Ee3VaUsG1tI0nMfUa4y7NoJgyBkdMlzzd4RB7O6sNYaQCPjop2BoVn1BUqYh7KJAc2kCLpOZaXawPivDF35OhaFlJhvFBzXRF1rXGOUzIVPtrZ+Dr/WPFB5zBc4tI6w7I+St9pbQtpl1NoqEZNaMyuYbusb5q07C/vgASYOepkNRRl7DoqMScRhoY51KszWm4uY8ObwgzcPLgpGArmkWvYwXHxWddSrLbG6DDBpOeHgSA6CMuvAqqw1B9LOo4QOLsj6LSycUwolhidtPNQCHWxnlkTxz5revj2PFr2NrEaBwIOfIjQKK3bVNxt14ZNPHyVkNlXNv+py8RNpP9MLFG2QG7bNMG0Nw7G92xkHPpPNVeI3nquOTonIRxWdq7EqPh1NwrtkBzpIcCcu805gddF02xd2WYcXZPqffOcdGjgOq10YKXZ+03vqMNag6pbADrDMeZyK77AUWF4cBa0DIEtn0Y0lQr5BDySSIBH5JFKGd4NMt6fjwWlNvtCi/wASypE0XADUgsGZPMnNR/4g+La5pvByiTHqCIUdu3nEtBaIcQ0kuzEnooO8O2GsqdgwC/K4iJBOgXV3RksXYmnRBdTaynOZtIzPpkVUsxQqOL6k3fZjIfAKBh8G8uuIc+TzmCeeasaNUsBlumQyXDIVFheXCMjPNaYTGtpktdSZA42Mz88lAdULs8xxMKDiqQ8Ry9SCfNck5JmnR3Oz9p0qmVMtB4gAD5KRiWB4g5xmF5jSrm6aYcC3iCR/uus3Y286oIrgNdMMJObh1HAr1RyWYaKPGYWpRe6aUC51skkESc8lBdtAzBptj+r5FeoHPWD7pDsHT+4z4BXWxZ5/R2o0w0MLjwAa4x5xou22AxzaIL29mTmW55dc1NpNDdAB5CPktahDsiQZ4LUY0Qi4vbrGmGxU+9B0U6hWD2hzdCq6nsoMMiNfujTkrFjQByWk2BrUFLu5I7UqkN7kLU1ei1LgqDfNEpcoBQDQSi5LuQCgNrkSiVi7opYPLnYgUxZa2ll4WjX1jNVGL2lB7lS31MLpNr7NvDWhtzXTcAYLeoP4KuwG5jWPFSo4vaM2tjP1XgjKEjQzdLDVqtQvfeGAd0xxJ1C7TE0GBv0lQ/HNc7jtqfu7cg5s5D9BcxjdqvcM3E8dV01vrotnWV9s0QbA6I5yZ6SipiadVsVKbXNP2spj1Xn1bH5RxHFXG7eMLybjNoyHOVtRQsttmbObTqOqNDXtaYpBveg83LOMwr6rri4VAM7AQP8AUlPq0nkX0nmk9vh0td0c3itNnY3tXl/Ztvb3KtoIgjqi5Yvg5bE7dc15skfZMj2IKZT3uqz3ocOWisNq7DbXLn0+5UnNpEA+vNVWC3aqOqtbUa5jSe84CQFG6ImX+C3tpvABHZO4ky6fXgpQx8nvHuHLunLzPFbUt38LSGYa/mXmfbgoG0MLh296k4MPACSPTks/bFdhkPC4upRf3CHNa8h/3XN1a4ekhSMVtG4moAQHuJeRmZOglaYKpRFSakk6DOGnzHFOx0UxLKbC0ZtOZjrqubzJF7Wxa7OxdR9MW03MOlzhlB+1GSXiq7mO79QHoCM1AobRL2mXEjkJUIYtwJFOnPU8PVc3nb4Rm7LV203HJkf1GCsOyzqOiefhVY3apYQ5xbIyiASo+0d5+1gFgtGuUfBVc/5NFxiMeyO7PIEHRV1XaHZvbcXEghzXagZ/d4qBjezBBw1SoXO8Qc2AB0PFWGw6Jp1mveBUMEQ4G0SPVdkqK2dfT317KkDUsc5wBbaSJHNw4Kj2lv7We76N7WN5AZ+pK32tsB9R17aF4IHhc34cFW1d36jRP7rU+LT8ivS2/BzQVt8cTmO210i0/gq47SqPdcXvc7UEOKU/E02mDSgjIgkZLDMVTnNh9CsXL2as9B3O3sfVPYV83ATSP3gNQeoXWhxPBefbq0qVRwDA5r2i8SIy5grvKdRwGa2mZHiUSl9qeiqttY4sAJcQJ71vLr0VbrsqV9Fq3GtLrZz/AFxTr1yVHeiifC0xzVrg9t0qmQdB65Lks8G6OrwySst7lgBKBW1pXW0cuRpIAzS2VwRln5JNekXCFV0MNWpP7jhZxaRl6HgrwC9vRcOqSyvIzC37QIDk6WCpNbLHucOAcbvc5rltq7XNKp3A5o85Hoq44qtSeWd6dByKw5j3QCJOuei+e8UGy/6JmL2sawa15MdBmlM2XTc0u77gPiVanZn0XeqUrzqMoA5J+z8I2gx01GG7gDp1Gaxtrwg0zkXU8zZRMdQSpWGq1aZFlENLuNpK6XDViR3DImAVJG1adI/SkXAZKSyOPgRi2Q6NCqWk1Htp8hbmVXP2qKMxVcZ1DQBPmoG3duGtU7jjA0VacM6oe41zuaQjJ8y4DVHQN3jEd1hPMkjVYG8ReYa1x8ioGF3erOy8A6nJXOD2WKIgGSeK6fWmSrID8ZTJPaNcHdSm4XC03Auq1AwfZA1TdoYcEQQJPFQ9m7DqVHWkdwau4BHirklEd+GY58NeSCYapFbDV8NqL6evPJWG0MDSoMDGGXTKv9iVW1sPa/MjIrLOsE0cW7GNIupdxw8TSp2x8U2o6CbSdVpt/d211zFQS6meUJqpLgxKLR6NhNkBh7rKZaRk6O9PUqvw1Gq6vFam1jAYGQN2fkoGwt5sw1/ouvGIbUgzouU80sRLRDxuzadUglg7vhyg+yYMHRLfAbm6QU/E4VtXIkt6hLpbFdTzbUuHIrePNuraNxSkIw236jZYKU26GdfitMRvTVpnOi6OmanUmBxgi1w91JbSHFd1nT4NODRxe2MZhcX4gaVXgbYno5UDdlvvtAIcTAEH46L0urhaRPfDZ6hbMxrKZiR0XRSsw0Z2Bu43CtkEuqPAvcfkBwEq5F3FQqeKv+rcAtWGtnc4f3fJb2SJRMcoOPwlzTlJjIJVbHOp5uc0jjOSiVN66UGCLhwnVdE7FHLVsU+m8tqUQ3XnpPupmA2k1xaOzdrqBKvsdtAsYHvcwTxiQPU6qtwu0qT3Gp+8u7mrYDW/LNc3iT5NLIyQ7eWqys1lltHQuOpMfJdHh9oNe2ZAnTPVcjit9MNMG6pwmMkpm8mFjJvlAWtSNs7DaG1BQpl5N0aAZkqto71Mce8TTPCdFXsxLK1P6OIOnIeaV/CZZmAD8RHPotOKa4IpHW0MY1zZlp6hKftNgMSfhK8vxm3nMJpscQ0GMlmhvg9ojxdVj89lbJe0/EPRVo+tCELyMRIuI8blpiPD6IQufk6M6TZX1LPJUG3fGhCR/ZfBF2d4guw2To/zCELuzi+ydU8I81EqoQqix6IlfVW+zvqD5LKF1l+SLs5zH+L4q13a0PohC8kjqiftXRcRtLVYQmMkyDQ8Q8132yfCEIXn+X0edluNQrKmhCz8f8nTH0Id9YPJYxmoWEKx/uHtl+CG5U20fGhC98e0eVk7ZS6VqEKS/Q8HJ75rhKH1g/XFCF7V+TB2G939lp+a5c8PJCFPCIitdxTcMhCy+ynWbn/b9F2WI+pd/IfkhC3Hswzx+vqfMpaELlk/Rs//2Q==Oleh: Abu Umar Al Bankawy
    Apabila berbicara tentang akhlaq, banyak orang yang keliru membatasi akhlaq hanya pada muamalah, hubungan antar sesama manusia belaka. Pemahaman yang seperti ini adalah pemahaman yang sempit dan kurang tepat, karena di luar itu masih ada akhlaq yang jauh lebih penting yaitu akhlaq kepada sang Khaliq atau akhlaq kita kepada Allah Sang Pencipta.
    Para ulama menjelaskan bahwa berakhlaq baik kepada Sang Khaliq berputar pada tiga perkara:
    1. Membenarkan berita yang datang dari Allah subhanahu wata’ala
    2. Menerima hukum-hukum yang Allah tetapkan dengan mengamalkannya
    3. Menerima takdir Allah dengan sabar dan ridha
    Selanjutnya kita akan jelaskan lebih detil lagi tentang tiga perkara ini.
    Pertama: Membenarkan berita yang datang dari Allah subhanahu wata’ala
    Maksudnya adalah seseorang tidak boleh ragu dan bimbang dalam membenarkan berita yang datang dari Allah, karena berita dari Allah bersumber dari ilmu Allah yang paling benar perkataannya.
    Allah ta’ala berfirman:
    مَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا
    “Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah?” (An Nisa: 87)
    Maka wajib membenarkan berita dari Allah dengan mempercayainya, membelanya, berjihad di jalan Allah dengannya, di mana dia tidak dimasuki oleh keraguan dan kerancuan tentang kebenaran Al Qur’an dan As Sunnah.
    Apabila seseorang sudah memiliki akhlaq seperti ini maka dia pun bisa menolak setiap syubhat, kerancuan yang dibawa oleh orang-orang inkarul hadits (orang-orang yang menentang hadits, tidak mau menerima hadits Nabi shallallahu ‘alahi wasallam). Demikian juga dia bisa menolak setiap syubhat yang dibawa oleh para pelaku kebid’ahan yang menambah-nambahi ajaran agama dengan apa yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan demikian juga dia bisa menolak semua syubhat orang-orang kafir yang membenci kaum muslimin.
    Kita ambil contoh hadits “Lalat” yang diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
    إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ  فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً
    “Jika seekor lalat jatuh dalam minuman salah seorang dari kalian, maka hendaklah ia celupkan lalat itu ke dalam minuman, lalu setelah itu hendaknya ia membuang lalat itu, karena sesungguhnya di dalam salah satu sayapnya terdapat penyakit, dan di sayap lainnya terdapat obat.” (HR. Al Bukhari, 5782)
    Ini adalah berita dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perkara-perkara yang ghaib, Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengucapkan dari hawa nafsunya, tetapi yang beliau ucapkan adalah wahyu Allah. Ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia, sedangkan manusia tidak mengetahui hal-hal yang ghaib, bahkan Allah berfirman kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
    قُلْ لا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلا مَا يُوحَى إِلَيَّ
    “Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.”  (Al An’am: 50)
    Berita, hadits tentang lalat ini wajib untuk kita terima dengan akhak yang baik. Dan berakhlak baik terhadap hadits ini adalah dengan menerimanya serta menetapkan bahwa hadits yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah benar, walau pun orang-orang menentangnya
    Demikian pula kita yakin dengan seyakin-yakinnya, bahwa pendapat yang menyelisihi hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam adalah pendapat yang keliru dan batil, hal ini karena Allah berfirman :
    فَذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلا الضَّلالُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ
    “Maka (Zat yang demikian) Itulah Allah Rabb kamu yang sebenarnya; Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka Bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (Yunus: 32)
    Kedua: Menerima hukum-hukum yang Allah tetapkan dengan mengamalkannya
    Tidaklah sepantasnya bagi seseorang untuk menolak hukum Allah. Apabila seseorang menolak hukum Allah maka apa yang dia lakukan adalah bentuk akhlak buruk kepada Allah. Sama saja penolakan itu dalam bentuk pengingkaran, atau sombong tidak mau mengamalkan, menolak atau menyepelekan pengamalannya.  Ini semua merupakan akhlaq yang jelek kepada Allah subhanahu wata’ala. Kita ambil contoh syariat puasa. Tidak diragukan lagi bahwa puasa adalah amalan yang berat bagi jiwa kita. Ketika berpuasa kita meninggalkan perkara-perkara yang kita sukai seperti makanan, minuman, dan jima’. Ini adalah suatu perkara yang berat.
    Bagi seorang mu’min, ia akan berakhlak baik kepada Allah dengan menerima beban syariat ini, atau dengan kata lain dia akan menerima kemuliaan ini. Karena hakikatnya syariat puasa ini adalah nikmat dari Allah. Maka seorang mu’min akan menerima pensyariatan ini dengan lapang dada dan ketenangan. Kita akan mendapati orang-orang yang beriman berpuasa pada siang hari yang panas sedangkan ia dalam keadaan ridha, lapang dada, karena ia berakhlak baik kepada Penciptanya. Sebaliknya orang yang berakhlak buruk kepada Allah akan menerima ibadah seperti ini dengan keluh kesah serta kebencian. Dia pun berpuasa dengan penuh keterpaksaan, atau bahkan tidak berpuasa sama sekali.
    Ketiga: Menerima takdir Allah dengan sabar dan ridha
    Kita semua telah mengetahui bahwa takdir-takdir Allah yang menimpa mahluk-Nya tidak semua sesuai dengan keinginan si hamba. Ada sesuai dengan keinginan kita, adapula yang bertentangan dengan keinginan kita. Misalnya sakit, keadaan seperti ini bukan keinginan kita. Semua manusia tentu ingin sehat.Contoh yang lainnya misalnya kemiskinan. Ini juga bukan keinginan kita. Setiap manusia pasti ingin hidup kaya atau berkecukupan.
    Akan tetapi takdir Allah dengan hikmah-Nya bermacam-macam, sebagian ada yang disukai manusia dan ia pun berlapang dada dengan takdir tersebut. Dan sebagian lagi tidak disukai manusia. Maka akhlak yang baik kepada Allah berkenaan dengan takdir-takdir-Nya adalah dengan ridha dengan apa yang Allah takdirkan. Merasa tenang dan lapang dengan takdir tersebut serta hendaknya kita menyadari bahwa tidaklah Allah menakdirkan bagi kita seseuatu melainkan karena hikmah dan tujuan yang terpuji serta patut kita syukuri.
    Jadi inti dari akhlak baik kepada Allah dalam perkara takdir adalah ridha, dalam bahasa jawa sering dikenal “nrimo” atau berserah diri, dan merasa tenang dengan takdir-takdir Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu Allah ta’ala memuji orang-orang yang bersabar di dalam firman-Nya:
    وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (١٥٥)الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (١٥٦)
    “Berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (Al Baqarah: 155-156)
    Demikianlah sedikit pembahasan tentang bagaimana akhlaq kita kepada sang khalik, insya Allah di tulisan yang lain, kita akan membahas bagaimana akhlaq kita kepada sesama manusia. Wallahu ta’ala a’lam, semoga shalawat serta salam tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. (bersambung)
    Referensi:
    -          Makaarimul Akhlaq karya Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

    Keutamaan Akhlaq Mulia

    http://alamendah.files.wordpress.com/2011/01/air.jpgOleh: Abu Umar Al Bankawy
    Di dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
    إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ (وَ فِي رِوَايَةٍ: صَالِحَ) اْلأََخْلَاقْ
    “Hanya saja aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia (dalam riwayat yang lain: menyempurnakan kebagusan akhlaq).” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 45)
    Syariat sebelum Islam telah menyeru manusia untuk memiliki akhlaq mulia. Kemudian diutuslah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa kesempurnaan akhlaq.
    Akhlaq yang mulia memiliki banyak keutamaan, di antaranya:
    1. Orang yang memiliki akhlaq yang bagus adalah sebaik-baiknya manusia.
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
    إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلاَقاً
    “Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling bagus akhlaqnya”. (Muttafaqun ‘alaihi).
    Beliau juga bersabda,
    اَلْبِرُّ حُسْنُ الخُلُقِ
    “Kebaikan adalah bagusnya akhlaq”. (HR. Muslim).
    2. Orang yang memiliki akhlaq yang mulia menjadi orang yang paling dicintai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
    إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ اِلَيَّ أَحْسَنُكُمْ أَخْلاَقاً
    “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian adalah yang paling bagus akhlaqnya”. (HR. Al-Bukhari).
    3. Akhlaq yang mulia merupakan tanda kesempurnaan iman.
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
    أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاناً ، أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً ، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
    “Yang paling sempurna keimanan seseorang mu’min adalah yang paling bagus akhlaqnya dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya”. (HR. At-Tirmidzi dan beliau berkata hasan shahih).
    4. Akhlaq mulia merupakan bagian penting dalam agama
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
    إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقاً ، وَإِنَّ خُلُقَ اْلإِسْلاَمِ الْحَيَاءُ
    “Sesungguhnya bagi setiap dien memiliki akhlaq, dan akhlaq Islam adalah malu.” (HR. Ibnu Majah, hasan).
    5. Akhlaq yang mulia akan mengantarkan ke derajat orang yang senantiasa mengerjakan puasa dan shalat malam.
    Dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
    إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ
    “Sesungguhnya dengan akhlaq mulia seorang mukmin akan sampai ke derajat orang yang mengerjakan puasa dan shalat malam.”’ (HR. Abu Daud dan Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib 2643)
    6. Akhlaq mulia berat timbangannya di akhirat   
    Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan betapa beratnya nilai timbangan akhlaq mulia di akhirat kelak jika dibandingkan dengan seluruh amalan. Beliau bersabda:
    مَا مِنْ شَيْءٍ يُوضَعُ فِي الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ صَاحِبَ حُسْنِ الْخُلُقِ لَيَبْلُغُ بِهِ دَرَجَةَ صَاحِبِ الصَّوْمِ وَالصَّلاَةِ
    “Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat timbangannya dari akhlaq mulia ketika diletakkan di atas mizan (timbangan amal) dan sungguh pemilik akhlaq mulia akan mencapai derajat orang yang mengerjakan puasa dan shalat.” (HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani  dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 876)
    7. Orang yang memiliki akhlaq yang mulia mendapatkan jaminan surga
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
    أَنَا زَعِيْمُ بَيْتٍ فِيْ رَبْضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا ، وَبَيْتٍ فِي وَسْطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحاً ، وَبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلُقَهُ
    “Aku penjamin suatu rumah di surga yang paling bawah bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun dia benar. Dan aku penjamin suatu rumah di surga bagian tengah bagi orang yang meninggalkan berdusta walaupun bercanda. Dan aku penjamin sebuah rumah di surga yang paling tinggi bagi orang yang bagus akhlaqnya”. (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al-Albani.)
    Demikianlah beberapa keutamaan akhlaq mulia. Insya Allah pada artikel selanjutnya kita akan bahas bagaimana cara berakhlaq kepada Allah, Rabbuna ‘azza wajalla. (bersambung)
    Referensi:
    • Makarimul Akhlaq, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
    • Quthuufun min Syamaail Al Muhammadiyyah, Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

    Kesempurnaan Islam dalam Adab dan Akhlaq

    http://profile.ak.fbcdn.net/hprofile-ak-snc6/260602_100002300823686_7029015_n.jpgPendahuluan: Kesempurnaan Islam dalam Adab dan Akhlaq
    Oleh: Abu Umar Al Bankawy
    Islam adalah agama yang sempurna. Ajarannya meliputi segenap aspek kehidupan manusia. Dari perkara yang besar sampai perkara yang paling kecil. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah, dari sahabat Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau pernah ditanya oleh kaum musyrikin.
    قَالُوا لِسَلْمَانَ : قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَىْءٍ حَتَّى الْخَرَاءَةَ. فَقَالَ : أَجَلْ ، قَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ ، وَنَهَانَا أَنْ يَسْتَنْجِىَ أَحَدُنَا بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ ، وَنَهَانَا أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ. رَوَاهُ مُسْلِم
    Mereka bertanya kepada Salman, “Sungguh nabi kalian telah mengajarkan kalian segala sesuatunya sampai-sampai cara buang hajat?”
    Salman menjawab, “Benar! Beliau telah melarang kami untuk menghadap kiblat baik ketika buang air besar maupun buang air kecil dan melarang kami untuk beristinja’ (membersihkan kotoran) dengan batu kurang dari tiga biji, dan melarang kami beristinja’ dengan kotoran hewan atau tulang.” (HR. Muslim)
    Hadits ini menunjukkan tentang sempurnanya ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh Allah ta’ala telah menjelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya tentang pokok dan cabang dari agama ini.  Allah  ta’ala  telah menjelaskan tentang tauhid, kewajiban untuk mengesakan-Nya serta segala macam adab, etika dalam perikehidupan manusia.
    Ketika bermajelis Allah ta’ala memerintahkan kepada kita untuk berlapang-lapang sebagaimana firman-Nya,
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ
    “Hai orang orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: ‘Berlapang lapanglah dalam majelis’, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.” (Al Mujadalah: 11 )
    Ketika ingin memasuki rumah seseorang, Allah perintahkan kita untuk meminta izin dan memberi salam terlebih dahulu kepada penghuninya. Allah berfirman,
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
    “Hai orang orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu, sebelum kamu minta izin dan memberi salam kepada penghuninya, yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat. Jika kamu tidak menemui seseorang di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin, dan jika dikatakan kepadamu: ‘Kembalilah’, maka hendaklah kamu kembali, itu lebih bersih bagimu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (An Nur: 27–28)
    Adapun tentang akhlak, Islam telah mengajarkan semua karakter terpuji. Sebagai contoh, tentang penunaian amanah. Di dalam Al Qur’an, Allah memerintahkan kita untuk menunaikan amanah. Allah berfirman,
    إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
    “Sesungguhnya Allah itu memerintahkan kepada engkau semua supaya engkau semua menunaikan amanat kepada pemiliknya.” (An Nisa’: 58)
    Contoh yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membimbing kita untuk senantiasa bersikap dan berucap jujur serta menjauhi dusta. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
    إنَّ الصِّدقَ يَهْدِي إِلَى البرِّ ، وإنَّ البر يَهدِي إِلَى الجَنَّةِ ، وإنَّ الرَّجُلَ لَيَصدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيقاً . وَإِنَّ الكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الفُجُورِ ، وَإِنَّ الفُجُورَ يَهدِي إِلَى النَّارِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكتَبَ عِنْدَ الله كَذَّاباً )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ
    “Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan itu membawa surga dan sesungguhnya seorang itu berlaku jujur hingga dicatatlah di sisi Allah sebagai seorang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan dan sesungguhnya kejahatan itu membawa kepada neraka dan sesungguhnya seorang berdusta hingga dicatatlah di sisi Allah sebagai seorang  pendusta.” (Muttafaqun ‘alaih).
    Dan masih banyak lagi ayat dan hadits seperti ini. Dengan demikian jelaslah, bahwa Islam itu sempurna, mencakup segala aspek kehidupan.
    Namun sungguh disayangkan, kaum muslimin di masa kita sangat jauh dari adab dan akhlaq Islami. Mereka lebih suka mengadopsi etika dan norma dari Barat yang justru banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam.
    Oleh karena itu, insya Allah melalui artikel berseri di situs www.salafy.or.id ini kami akan coba jelaskan beragam adab dan akhlak yang diajarkan di dalam Islam agar bisa diamalkan oleh setiap muslim.  (bersambung)
    Referensi:
    • Muhadharah Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin yang berjudul “Al Ibda’ fi Bayani Kamaalisy Syar’I wal Khuthratil Ibtida’”
    • Syarah Riyadhis Shalihin karya Asy Syaikh Muhammad bin Shalihin

    Sebarkan Salam

    http://elsaonline.com/wp-content/uploads/2012/08/Loudspeaker.jpgAbdullah bin ‘Amr ibnil ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan, “Ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Perangai Islam yang manakah yang paling baik?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
    “Engkau memberi makan (kepada orang yang membutuhkan, pent.) serta mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan tidak engkau kenal.” (HR. Al-Bukhari no. 6236 dan Muslim no. 159)
    Pada kesempatan lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    “Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak dikatakan beriman hingga kalian bisa saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan terhadap satu amalan yang bila kalian mengerjakannya kalian akan saling mencintai? Yaitu sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 192)
    Dalam dua hadits di atas terdapat hasungan yang besar untuk menyebarkan salam kepada kaum muslimin seluruhnya, yang dikenal ataupun yang tidak. Dan salam merupakan syiar kaum muslimin yang membedakan mereka dengan non muslim. Salam merupakan sebab awal tumbuhnya kedekatan hati dan kunci yang mengundang rasa cinta. Dengan menyebarkannya berarti menumbuhkan kedekatan hati di antara kaum muslimin, selain untuk menampakkan syiar mereka yang berbeda dengan orang-orang selain mereka. (Al-Minhaj 2/224, 225, Syarhu Riyadhish Shalihin, Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu, 3/6)
    Bila salam terucap dari seorang lelaki kepada lelaki lain atau antara sesama wanita, atau lelaki kepada wanita yang merupakan mahramnya dan sebaliknya wanita mengucapkan salam kepada lelaki dari kalangan mahramnya, tidaklah menjadi permasalahan. Bahkan mereka dihasung untuk mengamalkan dua hadits di atas. Yang menjadi tanya adalah: bolehkah laki-laki mengucapkan salam kepada wanita ajnabiyyah (bukan mahramnya) dan sebaliknya?
    Untuk menjawabnya, kita baca hadits-hadits yang akan disebutkan berikut ini:
    Abdullah bin Maslamah menyebutkan riwayat dari Ibnu Abi Hazim, dari bapaknya, dari Sahl radhiyallahu ‘anhu. Sahl radhiyallahu ‘anhu berkata:
    “Kami merasa senang pada hari Jum’at.” Aku (Abu Hazim) bertanya kepada Sahl, “Kenapa?” Sahl menjawab, “Kami punya (kenalan) seorang wanita tua, ia mengirim orang ke Budha’ah –sebuah kebun yang ada di Madinah– lalu ia mengambil pokok pohon silq (semacam sayuran, pent.) dan dimasukkannya ke dalam bejana (yang berisi air, pent.), dimasak sampai matang. Kemudian ia mengadon biji-bijian dari gandum. Bila kami selesai dari shalat Jum’at, kami pergi ke tempat wanita tersebut dan mengucapkan salam kepadanya. Lalu ia menghidangkan masakan tersebut kepada kami maka kami bergembira karenanya1. Tidaklah kami tidur siang dan tidak pula makan siang kecuali setelah Jum’atan.” (HR. Al-Bukhari no. 6248)
    Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    “Wahai Aisyah! Ini Jibril, ia mengirim salam untukmu2.” Aisyah menjawab, “Wa ‘alaihis salam wa rahmatullah.3 Engkau (wahai Rasulullah) dapat melihat apa yang tidak kami lihat.” (HR. Al-Bukhari no. 6249 dan Muslim no. 6251)
    Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu memberi judul dua hadits di atas dengan bab Taslimur Rijal ‘alan Nisa` wan Nisa` ‘alar Rijal, artinya “Laki-laki mengucapkan salam kepada wanita dan wanita mengucapkan salam kepada laki-laki.”
    Ummu Hani` Fakhitah bintu Abi Thalib radhiyallahu ‘anha, saudara kandung ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, yang berarti misan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengabarkan: “Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Fathu Makkah dalam keadaan beliau sedang mandi, sementara putri beliau, Fathimah radhiyallahu ‘anha menutupi beliau dengan kain4. Aku mengucapkan salam kepada beliau5. Beliau pun bertanya:
    “Siapa yang datang ini?” “Saya Ummu Hani` bintu Abi Thalib,” jawabku. “Marhaban Ummu Hani`,” sambut beliau. (HR. Al-Bukhari no. 357 dan Muslim no. 1666)
    Asma` bintu Yazid radhiyallahu ‘anha menyampaikan:
    “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat di masjid dan sekumpulan wanita tengah duduk. Beliau pun melambaikan tangan sebagai pengucapan salam.”6 (HR. At-Tirmidzi no. 2697, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi)
    Abdullah ibnuz Zubair radhiyallahu ‘anhuma berkata mengomentari jual beli atau pemberian yang diberikan oleh bibinya, Aisyah bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma7:
    “Demi Allah! Aisyah harus berhenti dari apa yang dilakukannya8 atau aku sungguh akan memboikotnya.” Ketika disampaikan ucapan Ibnuz Zubair ini kepada Aisyah, ia berkata, “Apa benar Ibnuz Zubair (Abdullah) berkata demikian?”
    “Ya,” jawab mereka.
    “Kalau begitu, demi Allah! Aku bernadzar tidak akan mengajak bicara Ibnuz Zubair selama-lamanya,” kata Aisyah dengan kesal.
    Ketika sudah berlangsung lama hajrnya (diamnya) Aisyah kepadanya, Ibnuz Zubair meminta bantuan kepada orang lain untuk menjadi perantara yang mengishlah antara dia dan bibinya. Namun Aisyah menolaknya, “Tidak demi Allah! Aku tidak akan menerima seorang pun yang menjadi perantaranya agar aku kembali mengajaknya bicara dan aku tidak akan melanggar nadzarku.”
    Tatkala panjang lagi keadaan seperti itu bagi Ibnuz Zubair, ia pun mengajak bicara Al-Miswar bin Makhramah dan Abdurrahman ibnul Aswad bin Abdi Yaghuts, keduanya dari Bani Zuhrah.9 Ibnuz Zubair berkata kepada keduanya, “Aku meminta kepada kalian berdua dengan nama Allah agar kalian berdua memasukkan aku ke tempat Aisyah (hingga dapat bertemu muka dengannya) karena tidak halal baginya bernadzar memutuskan hubungan denganku.”
    Al-Miswar dan Abdurrahman pun datang ke rumah Aisyah dalam keadaan mereka menyelubungi tubuh mereka dengan rida`, bersama mereka berdua ada Ibnuz Zubair. Mereka minta izin masuk ke rumah Aisyah. Keduanya mengucapkan salam kepada Aisyah, “Assalamu ‘alaiki wa rahmatullahi wa barakatuh, bolehkah kami masuk?” tanya mereka.
    (Setelah menjawab salam mereka) Aisyah berkata mempersilakan mereka (dari balik hijab), “Masuklah kalian.”
    “Kami semuanya?” tanya mereka.
    “Iya, kalian semua silakan masuk,” sahut Aisyah. Dan Aisyah tidak tahu kalau di antara keduanya ada Ibnuz Zubair. Ketika mereka sudah masuk ke kediaman Aisyah, Ibnuz Zubair masuk ke balik hijab untuk bertemu muka dengan bibinya (sementara Al-Miswar dan Abdurrahman tetap di balik hijab karena mereka bukanlah mahram Aisyah). Lalu ia merangkul Aisyah dan mulai meminta dengan bersumpah agar Aisyah mau berbicara lagi dengannya dan ia menangis. Al-Miswar dan Abdurrahman juga mulai angkat suara meminta dengan bersumpah agar Aisyah mau mengajak bicara keponakannya dan menerima maafnya.
    Keduanya berkata, “Sebagaimana yang telah Anda ketahui bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hajr seperti yang anda lakukan ini, karena beliau bersabda, ‘Tidak halal bagi seorang muslim menghajr saudaranya lebih dari tiga malam’.”
    Tatkala mereka terus-menerus mengingatkan Aisyah akan keutamaan menyambung silaturahim, memaafkan, dan menahan marah serta dosanya bila memutuskan silaturahim, mulailah Aisyah berbicara kepada keduanya dalam keadaan menangis. Aisyah berkata, “Aku telah bernadzar. Dan nadzar itu perkaranya berat.”
    Namun terus menerus keduanya memohon kepada Aisyah hingga akhirnya Aisyah mau berbicara dengan Ibnuz Zubair. Dan untuk menebus nadzarnya, ia membebaskan 40 orang budak. Bila ia mengingat nadzarnya setelah itu, ia menangis hingga air matanya membasahi kerudungnya.” (HR. Al-Bukhari no. 6073, 6074, 6075)
    Berikut ini penjelasan para ulama tentang permasalahan yang menjadi pembicaraan kita:
    1. Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu, “Mengucapkan salam kepada para wanita dibolehkan, terkecuali bila wanita itu masih muda karena dikhawatirkan fitnah bila berbicara dengan mereka dengan adanya bujuk rayu setan atau pandangan mata yang khianat (lirikan mata yang diharamkan). Adapun bila wanita itu sudah lanjut usia maka bagus mengucapkan salam pada mereka karena aman dari fitnah. Ini merupakan pendapat ‘Atha` dan Qatadah, dan dipegangi oleh Al-Imam Malik serta sekelompok ulama rahimahumullah.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/195)
    2. Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Seorang lelaki ajnabi boleh mengucapkan salam kepada wanita ajnabiyyah bila jumlah wanita tersebut lebih dari satu (sekelompok wanita). Namun bila wanita tersebut hanya seorang diri maka yang boleh mengucapkan salam kepadanya adalah sesama wanita, suaminya, tuannya (bila si wanita berstatus budak) dan mahramnya, baik si wanita itu cantik atau tidak cantik.
    Adapun lelaki ajnabi diberikan perincian.
    - Bila si wanita itu sudah tua tidak mendatangkan selera lelaki terhadapnya, maka disenangi bagi lelaki ajnabi untuk mengucapkan salam kepadanya. Demikian pula sebaliknya si wanita disenangi untuk mengucapkan salam kepada lelaki tersebut. Siapa di antara keduanya yang mengucapkan salam terlebih dahulu maka yang satunya wajib menjawabnya.
    - Apabila wanita itu masih muda atau sudah tua namun masih mengundang hasrat, maka tidak boleh lelaki ajnabi mengucapkan salam kepadanya, dan sebaliknya si wanita pun demikian. Siapa di antara keduanya mengucapkan salam kepada yang lain (baik si lelaki ataukah si wanita) maka ia tidak berhak mendapatkan jawaban dan dibenci membalas salam tersebut. Yang demikian ini merupakan mazhab kami dan mazhab jumhur. Rabi’ah berkata, ‘Laki-laki tidak boleh mengucapkan salam kepada wanita (ajnabiyyah) dan sebaliknya wanita tidak boleh mengucapkan salam kepada laki-laki (ajnabi).’ Namun ini pendapat yang keliru. Orang-orang Kufah berkata, ‘Tidak boleh laki-laki mengucapkan salam kepada wanita bila tidak ada mahram si wanita di situ.’ Wallahu a’lam.” (Al-Minhaj, 14/374)
    3. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu berkata, “Laki-laki boleh mengucapkan salam kepada wanita atau sebaliknya10 apabila aman dari fitnah.” Al-Halimi berkata, “Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam aman dari fitnah karena beliau ma’shum (terjaga dari berbuat dosa). Maka siapa yang meyakini dirinya dapat selamat dari fitnah, silakan ia mengucapkan salam (kepada lawan jenisnya, pent.). Bila tidak, maka diam lebih selamat.” Ibnu Baththal berkata dari Al-Muhallab, “Salam laki-laki terhadap wanita dan sebaliknya, dibolehkan apabila aman dari fitnah. Pengikut mazhab Maliki membedakan antara wanita yang masih muda dengan yang sudah tua dalam rangka menutup jalan menuju kerusakan11. Adapun Rabi’ah melarang secara mutlak. Orang-orang Kufah berkata, ‘Tidak disyariatkan kepada wanita untuk memulai mengucapkan salam kepada laki-laki karena mereka dilarang mengumandangkan adzan, iqamah, dan mengeraskan bacaan di dalam shalat. Dikecualikan dalam hal ini bila laki-laki tersebut adalah mahram si wanita, karena boleh baginya mengucapkan salam kepada mahramnya.”
    Al-Hafizh rahimahullahu berkata lagi menukilkan ucapan Al-Mutawalli, “Bila seorang lelaki mengucapkan salam kepada istrinya atau wanita dari kalangan mahramnya atau budak perempuannya maka hukumnya sama dengan seorang lelaki mengucapkan salam kepada lelaki lain. Namun bila si wanita adalah ajnabiyyah (non mahram) maka perlu ditinjau dahulu. Kalau si wanita berparas cantik, dikhawatirkan laki-laki akan tergoda dengannya sehingga tidak disyariatkan memulai mengucapkan salam kepadanya ataupun menjawab salamnya. Bila salah seorang dari mereka (si laki-laki atau si wanita) mengucapkan salam terlebih dahulu kepada yang lain maka makruh menjawabnya. Namun kalau si wanita sudah tua di mana laki-laki tidak akan terfitnah dengannya maka boleh mengucapkan salam kepadanya.”
    Apabila berkumpul dalam satu majelis sejumlah laki-laki dan sejumlah wanita, boleh bagi kedua belah pihak mengucapkan salam bila memang aman dari fitnah. (Fathul Bari, 11/41, 42-43)
    Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu memberikan keterangan, “Mengucapkan salam kepada wanita yang merupakan mahram adalah perkara sunnah. Sama saja baik itu istri, saudara perempuan, bibi, ataupun keponakan perempuan. Adapun wanita ajnabiyyah, tidak boleh mengucapkan salam kepadanya kecuali bila wanita tersebut sudah tua dan aman dari fitnah. Bila tidak aman maka tidak boleh mengucapkan salam kepadanya. Namun bila seseorang mendatangi rumahnya dan mendapatkan di rumahnya ada wanita yang dikenali lalu ia mengucapkan salam maka tidak apa-apa asalkan aman dari fitnah. Demikian pula, wanita boleh mengucapkan salam kepada laki-laki ajnabi dengan syarat aman dari fitnah.” (Syarh Riyadhis Shalihin, 3/29)
    Ketika ditanyakan kepada Asy-Syaikh Abdullah bin Humaid rahimahullahu tentang hukum mengucapkan salam kepada wanita ajnabiyyah, beliau rahimahullahu menyatakan tidak apa-apa mengucapkannya dari kejauhan, tanpa berjabat tangan. Dan si wanita menjawabnya, karena suara wanita bukanlah aurat. Kecuali bila si lelaki menikmati suaranya (senang mendengar suara tersebut, merasa lezat karenanya dan menikmatinya), maka dalam keadaan seperti ini hukumnya haram. Karena si lelaki berarti terfitnah dengan wanita ajnabiyyah tersebut.” (Dari siaran radio acara Nurun ‘alad Darb, sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, 2/965, 966)
    Faedah:
    Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu berkata, “Bila ada seseorang menukilkan salam dari orang lain untukmu, maka engkau menjawabnya dengan ucapan, ‘Alaihis salam.’ Namun apakah wajib bagimu menyampaikan pesan bila ada yang berkata, ‘Sampaikan salamku kepada si Fulan,’ ataukah tidak wajib?
    Ulama memberikan perincian terhadap permasalahan ini.
    Jika engkau diharuskan menyampaikannya maka wajib engkau sampaikan salam tersebut, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya.” (An-Nisa`: 58)
    Berarti engkau sekarang memikul kewajiban tersebut.
    Adapun bila orang itu berpesan kepadamu, ‘Sampaikan salamku kepada si Fulan,’ lalu ia diam tanpa ada ucapannya yang mengharuskanmu menyampaikan salamnya tersebut, atau ketika dipesani demikian engkau berkata, ‘Iya, kalau aku ingat,’ atau ucapan yang semisal ini, maka tidak wajib bagimu menyampaikannya terkecuali bila engkau ingat.
    Namun yang paling bagus, janganlah seseorang membebani orang lain dengan titipan salam ini, karena terkadang menyusahkan orang yang diamanahi. Hendaknya ia berkata, ‘Sampaikan salamku kepada orang yang menanyakanku.’ Ini ungkapan yang bagus. Adapun bila seseorang dibebankan maka tidaklah bermanfaat, karena terkadang ia malu darimu hingga mengatakan, ‘Iya, aku akan menyampaikannya,’ kemudian dia lupa atau berlalu waktu yang panjang atau semisalnya (hingga salam itu tidak tersampaikan).” (Syarh Riyadhish Shalihin, Ibnu ‘Utsaimin t, 3/19)
    Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
    1 Para shahabat bergembira dengan hidangan tersebut karena dulunya mereka bukanlah orang-orang yang berpunya, kecuali setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala bukakan rizki untuk mereka dengan kemenangan-kemenangan dalam peperangan yang dengannya mereka beroleh ghanimah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    وَمَغَانِمَ كَثِيرَةً يَأْخُذُونَهَا
    “Dan ghanimah-ghanimah yang banyak yang mereka ambil.” (Al-Fath: 19)
    Dengan kemenangan-kemenangan tersebut banyaklah harta, setelah sebelumnya mayoritas shahabat adalah dari kalangan fuqara. (Syarah Riyadhis Shalihin, 3/29-30)
    2 Malaikat tentunya tidak dikatakan berjenis laki-laki sebagaimana mereka tidak dikatakan berjenis perempuan. Karena mereka adalah makhluk yang berbeda dengan manusia, walaupun Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan mereka dengan lafaz tadzkir (jenis laki-laki). Lalu kenapa Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu memasukkan hadits ini sebagai dalil tentang laki-laki mengucapkan salam kepada wanita? Jawabannya: Jibril ‘alaihissalam mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk seorang laki-laki.” (Fathul Bari, 11/42)
    3 Hadits ini menunjukkan bolehnya laki-laki ajnabi mengirim salam untuk wanita ajnabiyyah yang shalihah, apabila tidak dikhawatirkan menimbulkan mafsadah (fitnah). (Al-Minhaj, 15/207)
    4 Hal ini menunjukkan bolehnya seorang laki-laki mandi sementara di situ ada wanita dari kalangan mahramnya, asalkan auratnya tertutup dari si wanita. Juga menunjukkan bolehnya anak perempuan menutupi ayahnya ketika si ayah sedang mandi, baik menutupinya dengan kain atau selainnya. (Al-Minhaj, 5/239)
    5 Ini menjadi dalil bahwa suara wanita bukanlah aurat dan bolehnya wanita mengucapkan salam kepada laki-laki yang bukan mahramnya sementara mahram si lelaki ada di tempat tersebut. (Al-Minhaj, 5/238)
    6 Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata setelah menyebutkan hadits ini, “Lafadz ini dibawa kepada pemahaman bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan lafadz salam dengan lisan dan isyarat dengan tangan (mengucapkan salam disertai melambaikan tangan sebagai isyarat, pent.). Dan yang memperkuat pengertian ini adalah riwayat Abu Dawud, di sana disebutkan:
    lalu beliau mengucapkan salam kepada kami.” (Riyadhus Shalihin, hal. 275)
    Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menambahkan, “Karena salam dengan tangan saja (sekedar memberi isyarat dengan tangan, tanpa diucapkan lafadznya dengan lisan, pent.) adalah perbuatan yang terlarang, dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun menggabungkan keduanya tidak apa-apa, khususnya lagi bila yang disalami berada pada posisi yang jauh. Ia butuh melihat isyarat tangan hingga ia tahu bahwa saudaranya telah mengucapkan salam kepadanya, atau yang disalami adalah seorang yang tuli, tidak bisa mendengar, dan semisalnya. Dalam keadaan seperti ini, orang yang mengucapkan salam boleh menggabungkan ucapan salam dengan lisan dan isyarat dengan tangan.”
    Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu juga menyatakan, “Tidaklah diragukan bahwa perkara-perkara yang dijadikan sebagai pengganti salam merupakan penyelisihan terhadap As-Sunnah. Karena yang diajarkan As-Sunnah adalah seseorang mengucapkan salam dengan lisannya. Namun bila suaranya (ucapan salamnya, pent.) tidak terdengar, ia boleh menyertainya dengan isyarat tangan hingga menjadi perhatian orang yang posisinya jauh atau orang yang tuli.” (Syarh Riyadhis Shalihin, 3/20-21)
    7 Ibu Abdullah adalah Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma, saudara perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anha.
    8 Kebiasaan Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau tidak pernah menahan sesuatu yang berupa rizki Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya melainkan disedekahkannya. Sekali waktu beliau menjual barang miliknya lalu harganya disedekahkan. Maka keponakannya ini mengkritik apa yang dilakukannya.
    9 Bani Zuhrah adalah dari kalangan suku Quraisy, dan merupakan akhwal (paman dari pihak ibu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    10 Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits di atas.
    11 Argumen mereka adalah hadits Sahl radhiyallahu ‘anhu yang sudah kami bawakan di atas. Di antaranya Sahl berkata, “Kami punya (kenalan) seorang wanita tua….”
    Sementara laki-laki yang mengunjungi si wanita tua ini dan yang dijamunya bukanlah mahramnya.
    (Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=606)