Istiqomah

Memperjuangkan Sunnah diatas manhaj salaful ummah

Shahihkah Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma Tentang Bolehnya Nyanyian dan Alat Musik

Jum'at 08 Januari 2010, kategori Hadits
Penulis: Al-Ustadz Muhammad Rijal, Lc

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ وقَدْ رَشَّ حَسَّانُ فِنَاءَ أَطِمِهِ وَأَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِمَاطَينِ وَبَيْنَهُمْ جَارِيةٌ لِحسَّانَ يُقَالُ لَـهَا سِيرِينُ، وَمَعَهَا مِزْهَرٌ لَهَا تُغَنِّيهِمْ وَهِيَ تَقُولُ فِي غِنَائِهَا: هَلْ عَلَيَّ وَيْحَكُمْ * إنْ لَهَوْتُ مِنْ حَرَجٍ. فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ: لاَ حَرَجَ

Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar ketika Hassan1 radhiyallahu 'anhu telah menyirami halaman tempat tinggalnya, sementara para sahabat radhiyallahu 'anhum duduk dua shaf, di tengah-tengah mereka budak perempuan milik Hassan radhiyallahu 'anhu bernama Sirin membawa mizhar-nya (sejenis alat musik berdawai seperti kecapi) berdendang untuk para sahabat. Dalam nyanyiannya dia mengatakan: “Celaka! Apakah ada atasku * dosa jika aku berdendang?” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersenyum seraya bersabda: “Tidak mengapa (tidak ada dosa atasmu).”
Sepintas, siapapun yang membaca hadits ini akan berkesimpulan bahwa nyanyian dan alat musik adalah sesuatu yang wajar dan boleh-boleh saja. Demikian dipahami dari zhahir hadits ini. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan hukum atas perbuatan budak Hassan bin Tsabit radhiyallahu 'anhu dengan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam: “La haraj” (tidak mengapa), yang menunjukkan kebolehan apa yang dilakukan Sirin, budak perempuan Hassan bin Tsabit radhiyallahu 'anhu.
Dalam hadits ini juga terdapat taqrir (persetujuan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabat radhiyallahu 'anhum yang menikmati mizhar dan mendengarkan alunan suara Sirin. Sehingga dipahami bahwa perbuatan tersebut adalah perkara mubah, sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul bahwa persetujuan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atas perbuatan yang dilakukan di hadapan beliau menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut.
Para pembaca rahimakumullah (semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati Anda). Sesungguhnya hadits ini adalah sekian dari syubhat-syubhat yang dijadikan sandaran oleh hati-hati berpenyakit untuk membolehkan nyanyian dan alat musik. Akan tetapi benarkah hadits ini adalah dalil untuk mereka? Shahihkah penyandaran hadits ini kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam?

Tinjauan Sanad Hadits
Ibnu ‘Asakir2 menyebutkan hadits Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma di atas dalam kitab beliau Tarikh Dimasyq (12/415) dari jalan Abu Uwais, dari Al-Husain bin Abdillah, dari ‘Ikrimah, dari Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib radhiyallahu 'anhuma.
Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan tergolong hadits yang maudhu’ (palsu). Abul Faraj Ibnul Jauzi memasukkannya dalam kitab beliau Al-Maudhu’at (3/115-116) pada bab Fi Ibahatil Ghina (Bab Tentang Bolehnya Nyanyian). Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu dalam takhrij beliau terhadap risalah Ada`u Ma Wajaba Min Bayani Wadh’il Wadhdha’ina Fi Rajab (hal. 150) mengatakan bahwa hadits ini bathil3.
Batilnya hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma dapat diketahui dari beberapa tinjauan.
Pertama, kelemahan sanadnya.
Kedua, penyelisihannya terhadap Al-Qur`an.
Ketiga, penyelisihannya terhadap As-Sunnah yang shahih.
Keempat, hadits ini sangat bertentangan dengan keadaan sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik, yang sangat menjaga batasan-batasan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sangat jauh dari perkara-perkara yang diharamkan.
Empat tinjauan inilah yang insya Allah akan dibahas pada kesempatan kali ini.
Diawali dari tinjauan sanad hadits, kita dapatkan dalam hadits ini dua orang perawi yang diperbincangkan yaitu Al-Husain bin ‘Abdillah dan Abu Uwais.
Perawi pertama, dia adalah Al-Husain bin ‘Abdillah bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib Al-Hasyimi Al-Madani. Berikut kita nukilkan hukum ulama Al-Jarh wa At-Ta’dil tentang Al-Husain bin ‘Abdillah.4
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata dalam riwayat Al-Atsram: “Lahu asy-ya`u munkarah (Dia mempunyai beberapa perkara mungkar).”
Yahya bin Ma’in rahimahullahu berkata: “Huwa dha’if (Dia lemah).”
Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullahu berkata: “Laisa bi qawiyyin (Dia bukanlah orang yang kuat).”
Abu Hatim Ar-Razi rahimahullahu berkata: “Dha’iful hadits (Haditsnya lemah).”5
An-Nasa`i rahimahullahu berkata: “Matruk (Ditinggalkan).”6
Al-Jauzajani rahimahullahu berkata: “Laa yusytaghal bi haditsihi (Tidak disibukkan dengan haditsnya).”7
Ibnu Hibban rahimahullahu berkata: “Yuqallibul asanid wa yarfa’ul marasil (Dia membolak-balik sanad dan me-marfu’-kan yang mursal).”8
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Dha’if (lemah).”9
Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata dalam kitabnya Al-Maudhu’at (3/116) –setelah menyebutkan hadits di atas–: “Adapun Al-Husain, ‘Ali bin Al-Madini berkata tentangnya: “Taraktu haditsahu (Aku meninggalkan haditsnya).”10
An-Nasa`i berkata: “Matrukul hadits (Haditsnya ditinggalkan).” As-Sa’di berkata: “Laa yusytaghal bi haditsihi (Tidak disibukkan dengan haditsnya).”
Dari perkataan-perkataan ulama Al-Jarh wa At-Ta’dil di atas didapatkan bahwa mereka bersepakat akan kedhai’fan (kelemahan) Al-Husain. Hal ini tentunya mengakibatkan lemah dan tertolaknya hadits yang diriwayatkannya. Oleh karena itulah Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu dalam kitab beliau Mizanul I’tidal (2/292) memasukkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma ini sebagai salah satu dari kemungkaran-kemungkaran hadits Al-Husain bin ‘Abdillah.
Tentang perawi kedua yaitu Abu Uwais, berkata Ibnul Jauzi: “ Abu Uwais, namanya adalah ‘Abdullah bin ‘Abdillah bin Uwais. Ahmad (bin Hanbal) dan Yahya (bin Ma’in) berkata: “Dha’iful hadits (Haditsnya lemah).” Dan Yahya pernah berkata: “Kana yasriqul hadits (Adalah dia mencuri hadits).” (Al-Maudhu’at 3/116)
Adz-Dzahabi berkata tentang Abu Uwais: “Laisa biqawiyyin (Dia bukan orang yang kuat).”11
Demikian secara singkat beberapa nukilan ucapan ulama tentang kedha’ifan Al-Husain dan Abu Uwais. Wallahu a’lam.

Penyelisihan terhadap Al-Qur`an
Para pembaca rahimakumullah (semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati Anda).
Lemahnya hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma bukan hanya ditinjau dari sisi sanad. Penyelisihan hadits ini terhadap Al-Qur`an dan hadits shahih semakin memperjelas kebatilannya. Al-Qur`an menunjukkan haramnya musik dan alat-alat musik. Demikian pula sabda-sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih.
Di antara ayat yang menunjukkan haramnya musik adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَأَجْلِبْ عَلَيْهِمْ بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَولاَدِ وَعِدْهُمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلاَّ غُرُورًا
“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suara (ajakan)mu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki, dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak serta beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (Al-Isra`: 64)
Mujahid rahimahullahu mengatakan bahwa makna (ﯓ) adalah perkataan sia-sia dan nyanyian. Demikian Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu meriwayatkan perkataan Mujahid rahimahullahu dalam tafsirnya.12
Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Luqman: 6)
Asy-Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata dalam tafsir beliau: “Yang dimaksud dengan ‘perkataan yang tidak berguna’ adalah perkataan-perkataan yang melalaikan hati, yang menghalangi hati dari tujuan yang mulia. Maka masuk di dalamnya seluruh jenis perkataan haram, yang sia-sia dan batil, ucapan-ucapan yang tidak masuk akal dari perkataan yang menjerumuskan kepada kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan. (Juga) perkataan orang-orang yang menolak kebenaran dan berdebat dengan kebatilan untuk menghancurkan al-haq, ghibah, namimah (adu domba), dusta, cercaan dan celaan. (Termasuk juga) nyanyian, dan alat-alat musik,13 dan perkara-perkara melalaikan yang tidak ada manfaatnya, baik dunia atau agama.” (Taisir Al-Karimir Rahman, 6/150)

As-Sunnah Ash-Shahihah Bertentangan dengan Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma
Di antara hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menunjukkan haramnya musik dan alat musik adalah yang diriwayatkan dari sahabat Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْـمَعَازِفَ
“Sungguh akan ada dari umatku sekelompok kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik.”
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu meriwayatkan hadits ini secara mu’allaq dalam Ash-Shahih. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban rahimahullahu dalam Shahih-nya, juga yang lainnya dengan sanad yang shahih.14
Hadits yang mulia ini sangat tegas menyatakan haramnya alat musik sebagaimana haramnya zina, khamr, dan sutera (bagi laki-laki). Hadits ini sekaligus menjadi bukti dari sekian banyak bukti kenabian, di mana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan perkara yang belum terjadi, kemudian terjadi seperti apa yang beliau kabarkan. Betapa banyak kaum muslimin menghalalkan musik dan alat-alat musik dengan berbagai model dan alirannya. Kenyataan yang menimpa umat ini sangat menyedihkan. Dan lebih menyedihkan lagi, ketika orang yang menghalalkannya adalah sosok yang mengaku sebagai da’i dan ustadz, kemudian menjual dagangannya dengan menyuguhkan hadits-hadits palsu yang tidak sah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Subhanallah! Tidakkah mereka takut dengan ancaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang mutawatir:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berdusta atasnamaku hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.”15
Hadits kedua di antara hadits-hadits yang mengharamkan musik dan alat musik adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
صَوْتَانِ مَلْعُوْنَانِ: صَوْتُ مِزْمَارٍ عِنْدَ نِعْمَةٍ وَصَوْتُ وَيْلٍ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ
“Dua suara yang dilaknat: suara mizmar (seruling) di kala suka, dan suara (ratapan) celaka di kala musibah.”16
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Dalam hadits terdapat pengharaman alat musik, karena mizmar adalah alat (musik) yang ditiup. Hadits ini merupakan salah satu dari banyak hadits yang membantah pembolehan Ibnu Hazm terhadap alat-alat musik.”17

Kemuliaan Sahabat Membantah Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma
Para pembaca rahimakumullah. Seorang muslim yang mengenal kesempurnaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kemuliaan para sahabat beliau radhiyallahu 'anhum, akan merasakan keanehan dan keganjilan pada hadits yang kita bahas ini. Bagaimana tidak? Hadits tersebut mengandung celaan terhadap sahabat radhiyallahu 'anhum, bahkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Inilah sisi keempat yang dengannya kita mengenal kebatilan hadits yang kita bahas. Yaitu dengan membandingkan keadaan sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sangat berlawanan dengan apa yang ditunjukkan oleh hadits.
Telah menjadi keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwasanya sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah generasi terbaik umat ini, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
"Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian generasi sesudahnya (tabi'in), kemudian generasi sesudahnya (tabi'ut tabi'in)."18
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan hafizhahullah berkata: “Yang wajib diyakini tentang sahabat, bahwasanya mereka adalah umat yang paling mulia dan generasi terbaik. Karena mereka adalah pendahulu (dalam kebaikan), memiliki kekhususan berupa menyertai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, berjihad bersama beliau, mengemban syariat dari beliau, kemudian menyampaikannya kepada orang-orang sesudah mereka. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuji mereka dalam kitab-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selama lamanya. Itulah kemenangan yang besar." (At-Taubah: 100)
Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي اْلإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29)19
Perhatikan sifat-sifat mulia yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan kepada sahabat dalam dua ayat di atas. Tidak ada lagi keraguan akan kemuliaan sahabat dan tingginya derajat mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Sejarah Islam turut membuktikan bahwa mereka adalah generasi terdepan umat ini. Waktu mereka dipenuhi dengan mempelajari ilmu, mengamalkan dan menyebarkannya. Mereka adalah mujahidin yang senantiasa berlaga di medan jihad untuk menegakkan kalimat Allah Subhanahu wa Ta'ala di muka bumi. Gelapnya malam mereka lalui dengan bertaubat dan berdiri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala, membaca dan mentadaburi ayat-ayat-Nya. Demikianlah sejarah bertutur, mereka adalah generasi termulia yang paling bersemangat dalam kebaikan serta paling jauh dari perkara yang tidak Allah Subhanahu wa Ta'ala ridhai.
Adalah suatu hal yang mustahil bagi sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang waktu mereka dipenuhi dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, kemudian mereka membuang waktu dengan perbuatan sia-sia bahkan diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sangat mustahil, sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang demikian mulianya, duduk bershaf menyia-nyiakan waktu dengan perkara haram, memandang wanita, menikmati alunan lagu dan alat musik dari seorang perempuan yang tidak halal di tengah-tengah mereka. Demi Allah, hal ini adalah kedustaan yang nyata! Dan lebih tidak mungkin lagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membiarkan kemungkaran yang tampak di hadapan beliau.
Di akhir pembahasan, sejenak kita buka lembaran kehidupan sahabat radhiyallahu 'anhum bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang penuh dengan kemuliaan. Sebuah sejarah yang setiap muslim tidak pernah bosan membacanya.
Al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats As-Sijistani rahimahullahu dalam kitabnya As-Sunan, meriwayatkan sebuah hadits dari sahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu 'anhu. Beliau radhiyallahu 'anhu menceritakan di antara kisah kesungguhan sahabat dalam beribadah dan berjihad fi sabilillah.
عَنْ جَابِرٍ [فِي رِوَايَةٍ عِنْدَ أَحْمَدَ: فِيْمَا يَذْكُرُ مِنَ اجْتِهَادِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْعِبَادَةِ] قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْنِي فِي غَزْوَةِ ذَاتِ الرِّقَاعِ فَأَصَابَ رَجُلٌ امْرَأَةَ رَجُلٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَحَلَفَ: أَنْ لاَ أَنْتَهِيَ حَتَّى أُهَرِيقَ دَمًا فِي أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ. فَخَرَجَ يَتْبَعُ أَثَرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْزِلًا فَقَالَ: مَنْ رَجُلٌ يَكْلَؤُنَا؟ فَانْتَدَبَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَرَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَقَالَ: كُونَا بِفَمِ الشِّعْبِ. قَالَ: فَلَمَّا خَرَجَ الرَّجُلاَنِ إِلَى فَمِ الشِّعْبِ اضْطَجَعَ الْمُهَاجِرِيُّ وَقَامَ الْأَنْصَارِيُّ يُصَلِّي وَأَتَى الرَّجُلُ فَلَمَّا رَأَى شَخْصَهُ عَرِفَ أَنَّهُ رَبِيئَةٌ لِلْقَوْمِ، فَرَمَاهُ بِسَهْمٍ فَوَضَعَهُ فِيهِ فَنَزَعَهُ حَتَّى رَمَاهُ بِثَلاَثَةِ أَسْهُمٍ ثُمَّ رَكَعَ وَسَجَدَ ثُمَّ انْتَبَهَ صَاحِبُهُ، فَلَمَّا عَرِفَ أَنَّهُمْ قَدْ نَذِرُوا بِهِ هَرَبَ، وَلَمَّا رَأَى الْمُهَاجِرِيُّ مَا بِالْأَنْصَارِيِّ مِنَ الدَّمِ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ، أَلاَ أَنْبَهْتَنِي أَوَّلَ مَا رَمَى؟ :قَالَ كُنْتُ فِي سُورَةٍ أَقْرَؤُهَا، فَلَمْ أُحِبَّ أَنْ أَقْطَعَهَا
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu [tentang kesungguhan sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beribadah]20, beliau berkata: Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada perang Dzatur Riqa’, (ketika itu) seorang sahabat membunuh perempuan –istri dari seorang musyrikin–21, maka dia (laki-laki musyrik tersebut) bersumpah tidak akan berhenti (mengejar) hingga menumpahkan darah pada sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Pergilah dia mengikuti jejak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka singgahlah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di suatu tempat, kemudian beliau bersabda: “Siapakah yang akan menjaga kami?” Bangkitlah seorang sahabat dari Muhajirin dan seorang dari Anshar.22 Beliau bersabda: “Berjagalah di ujung syi’b (lembah antara dua bukit).” Tatkala keduanya telah pergi menuju ujung lembah di antara dua bukit, tidurlah sahabat dari Muhajirin, sedangkan sahabat dari Anshar tadi berdiri shalat. (Di saat itu) datanglah laki-laki musyrik melihat sahabat Anshar (dalam keadaan shalat), dan tahu bahwa dia adalah penjaga kaum. (Maka) dilepaskanlah anak panah hingga mengenai sahabat Anshar. Lantas (oleh sahabat yang terpanah) dicabutnya anak panah itu, hingga tiga kali terkena anak panah. Kemudian sahabat Anshar itu ruku’ dan sujud, hingga bangunlah sahabatnya (dari Muhajirin). Orang musyrik inipun tahu bahwasanya sahabat telah bersiaga, maka dia pun lari. Berkatalah si Muhajir ketika melihat darah pada sahabatnya: “Subhanallah, mengapa engkau tidak bangunkan aku ketika engkau baru dipanah?” Sahabat Anshar itu menjawab: “Aku ketika itu sedang membaca sebuah surat, dan aku tidak suka untuk memotongnya.”23
Perang Dzatur Riqa’ terjadi pada tahun ke-4 Hijriah demikian dikatakan Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya. Disebut perang Dzatur Riqa’ karena para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika itu banyak yang membalut kaki-kaki mereka yang terluka dalam peperangan, sebagaimana ditunjukkan riwayat Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih keduanya, dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu. Beliau radhiyallahu 'anhu berkata:
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةٍ وَنَحْنُ سِتَّةُ نَفَرٍ بَيْنَنَا بَعِيرٌ نَعْتَقِبُهُ فَنَقِبَتْ أَقْدَامُنَا وَنَقِبَتْ قَدَمَايَ وَسَقَطَتْ أَظْفَارِي، وَكُنَّا نَلُفُّ عَلَى أَرْجُلِنَا الْخِرَقَ، فَسُمِّيَتْ غَزْوَةَ ذَاتِ الرِّقَاعِ لِمَا كُنَّا نَعْصِبُ مِنَ الْخِرَقِ عَلَى أَرْجُلِنَا
“Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah peperangan, dan kami enam orang memakai satu onta bergantian dalam mengendarainya. Kaki-kaki kami terluka, dan terluka juga kakiku hingga lepas kuku-kukunya. Kami ketika itu membalut kaki-kaki kami dengan kain-kain, maka dinamailah perang tersebut dengan perang Dzatur Riqa’ karena apa yang kami lakukan, (yaitu) membalut kaki-kaki kami dengan kain.”24
Lihatlah pembaca rahimakumullah, sebagian dari perjuangan yang sangat menakjubkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan generasi terbaik umat ini. Berjalan siang malam menempuh sahara dengan segala kesukarannya. Mengorbankan jiwa dan raga untuk menegakkan kalimat Laa ilaa ha illallah di muka bumi.
Perhatikan pula bagaimana sahabat Anshar itu tegak berdiri membaca kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam shalatnya di tengah-tengah tugas menjaga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Darah yang mengalirpun tidak lagi dihiraukan untuk tetap merenungi kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala. Demikian pula kakinya tetap kokoh berdiri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Maka, orang yang mengetahui sejarah dan sadar akan kedudukan sahabat, dia akan terkejut ketika mendengar hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma yang sangat tidak sesuai dengan kehidupan sahabat radhiyallahu 'anhum. Selanjutnya dia akan bertanya: “Shahihkah hadits ini?” Maka jawabnya: Hadits ini bathil dan didustakan atas nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Pembaca rahimakumullah (semoga Anda dirahmati Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Di akhir pembahasan ini, kita meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar Dia melindungi kita dari kesesatan dan penyimpangan di tengah badai fitnah yang menimpa umat ini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan hati kita mencintai keimanan, mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan generasi terbaik umat ini. Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala mengumpulkan kita bersama mereka di jannah-Nya yang penuh kenikmatan dan kebahagiaan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa melimpahkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarganya, dan para sahabatnya.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

1 Beliau adalah Hassan bin Tsabit bin Al-Mundzir bin Haram Al-Anshari Al-Khazraji, penyair Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau meninggal tahun 54 H. Lihat Taqrib At-Tahdzib karya Ibnu Hajar Al-’Asqalani.
2 Beliau adalah Al-Hafizh Abul Qasim ‘Ali bin Al-Hasan bin Hibatullah bin Abdillah Asy-Syafi’i. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Asakir, meninggal tahun 571 H. 3 Lafadz bathil ketika digunakan untuk menghukumi sebuah hadits, semakna dengan lafadz maudhu’ atau makdzub atau hadza min ifkihi. Semuanya adalah lafadz-lafadz sharih (jelas) yang menunjukkan akan kepalsuan hadits. Wallahu a’lam.
4 Lafadz-lafadz jarh (pencacatan rawi) tersebut adalah istilah yang harus dipahami dan dicermati secara khusus dalam ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil. Semua ibarat yang dilontarkan terhadap Al-Husain bin ‘Abdillah dan Abu Uwais adalah jarh (pencacatan) terhadap keduanya. Wallahu a’lam.
5 Ucapan Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Abu Hatim Ar-Razi, Abu Zur’ah Ar-Razi, dan An-Nasa`i disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim Ar-Razi dalam kitab beliau Al-Jarh Wa At-Ta’dil (2/57).
6 Lihat Adh-Dhu’afa` wal Matrukin karya Al-Imam An-Nasa`i (1/33). Ibnu Abi Hatim juga menukilkan ucapan An-Nasa`i dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil (2/57).
7 Lihat Asy-Syajarah Fi Ahwalir Rijal karya Al-Jauzajani, hal. 240.
8 Lihat Al-Majruhin karya Ibnu Hibban Al-Busti (1/242).
9 Lihat Taqribut Tahdzib karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani.
10 Ucapan ‘Ali bin Al-Madini disebutkan Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil (2/57). Lihat juga Ad-Dhu’afa` karya Al-‘Uqaili (1/245).
11 Mizanul I’tidal karya Adz-Dzahabi (2/292).
12 Tafsir At-Thabari (15/118)
13 Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsir beliau (21/61-64) meriwayatkan sejumlah riwayat dari sahabat dan tabi’in tentang makna ( ﭴ ﭵ) yaitu nyanyian, maka rujuklah kepadanya.
14 Pendapat Ibnu Hazm tentang dha’ifnya hadits ini adalah pendapat yang tertolak. Untuk menambah keterangan, lihat pembahasan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu dalam risalah beliau Tahrim Alat Ath-Tharb (hal. 38).
15 HR. Al-Bukhari no.108, dari hadits Az-Zubair bin Al-‘Awwam radhiyallahu 'anhu. Di awal hadits ini disebutkan bahwa 'Abdullah bin Az-Zubair rahimahullahu bertanya kepada ayahnya: “Aku tidak mendengar engkau banyak menyampaikan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana fulan dan fulan menyampaikannya.” Kemudian Az-Zubair berkata sebagaimana lafadz hadits di atas.
16 HR. Abu Bakr Asy-Syafi’i dalam Ar-Ruba’iyat (2/22/1). Lihat pembahasan hadits pada Ash-Shahihah, no. 427.
17 Lihat Ash-Shahihah (1/2/790) hal. 791.
18 HR. Al-Bukhari no. 2652.
19 Kitab At-Tauhid (hal. 122-123) oleh Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan.
20 Apa yang ada di antara dua kurung ada dalam riwayat Al-Imam Ahmad. Lihat Musnad Al-Imam Ahmad (3/359).
21 Faedah: Pada asalnya perempuan tidak boleh dibunuh dalam peperangan, kecuali jika dia termasuk pasukan musyrikin yang ikut berperang. Maka tidak ada isykal dalam hadits ini karena dibunuhnya perempuan musyrik dalam perang Dzatur Riqa’. Boleh jadi karena dia masuk dalam barisan pasukan musyrikin, atau terbunuh tanpa disengaja. Demikian keterangan Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah ketika mensyarah hadits ini.
22 Dalam kitab ‘Aunul Ma’bud (1/333) penulis memberikan faedah bahwa Al-Imam Al-Baihaqi dalam Dala`il An-Nubuwah menyebutkan nama dua sahabat ini, yaitu ‘Ammar bin Yasir dari kalangan Muhajirin dan ‘Abbad bin Bisyr dari Anshar.
23 HR. Abu Dawud (No.198)
Di antara faedah hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu yang bisa kita petik: (1) Hadits ini merupakan dalil bahwa darah (selain darah haid dan nifas) tidak najis (2) Keluarnya darah dengan sebab luka tidak membatalkan wudhu, sebagaimana sahabat Anshar terus melakukan shalat dalam keadaan darah mengalir (3) Menempuh sebab tidak menafikan tawakal, sebagaimana ditunjukkan hadits bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan sahabat untuk melakukan penjagaan (4) Shalat malam tidak disyaratkan harus tidur sebelumnya, sebagaimana shalatnya sahabat Anshar ini. Juga ditunjukkan oleh hadits wasiat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu untuk shalat witir sebelum tidur. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
24 HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shahih, kitab Al-Maghazi, Bab Ghazwatu Dzatur Riqa’ (no. 4128) dan Muslim dalam Ash-Shahih, Kitab Al-Jihad was Sair, Bab Ghazwatu Dzatir Riqa’ (no.1816)

0 comments: