Istiqomah

Memperjuangkan Sunnah diatas manhaj salaful ummah
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwFY0f3LiS3cTkJhAPozNJrHApX6lFx0vRmqzxn8IqezQUevVplc9pNlFitwkYykwpv1-r48bbeQJWqNzixvMPOGeOnNjtO-UNox5r1ra0S29rL1Zp09by20K4w8FaddFP9r2dWevvWbY/s1600/bunga-mawar-pink.jpg

  • Adab-Adab Berbicara Bagi Wanita Muslimah
  • Wahai saudariku muslimah.. Berhati-hatilah dari terlalu banyak berceloteh dan terlalu banyak berbicara.

    http://www.salafy.or.id/wp-content/uploads/2012/11/ilustrasi_101020100017-230x200.jpg

  • Beberapa Kisah Yang Menyedihkan
  • Keadaan pribadi Nabi juga sangat menyedihkan. Apalagi kaum musyrikin betul-betul dendam kepada beliau. Beberapa prajurit musyrikin berusaha mendekati beliau, ada yang berhasil memecahkan topi baja beliau sehingga melukai kepala dan menembus pipi beliau serta mematahkan gigi seri beliau.

    http://fitrahfitri.files.wordpress.com/2010/10/images1.jpeg

  • Bahasan Singkat Tentang Menutup Aurat
  • Propaganda musuh-musuh islam senantiasa dan semakin dilancarkan dalam segala sisi kehidupan. Hal tersebut telah ter-nash-kan dalam Firman Allah Ta’aala berkaitan dengan sifat yang dimiliki oleh musuh-musuh islam dari kalangan ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani).

    http://1.bp.blogspot.com/_XovKUH-N0SA/TPHLHtMPIPI/AAAAAAAAAoM/XwsXjIMDeFs/s400/Pencil%252520on%252520pad%252520of%252520paper.jpg

  • ANasehat Untuk para Pendidik (Pengajar)
  • Sesungguhnya pentingnya peran pengasuh (pendidik) sangat besar sekali, amalnya termasuk amal-amal yang paling mulia apabila di tekuni dan ikhlas karena allah dan mengajar para siswa dengan pengajaran islami yang benar.

    http://www.colourbox.com/preview/3089788-135191-book-and-pencil-on-white.jpg

  • pengajaran-akhlak-ala-rasulullah.html
  • Rasulullah Shallallahu’alaihiwassalam adalah contoh panutan dalam setiap aspek kehidupan. Beliau Shallallahu’alaihiwassalam senantiasa memberikan contoh aplikatif sehingga mudah untuk di laksanakan setiap orang. Bagaimana beliau Shallallahu’alaihiwassalam berinteraksi dengan anak -anak, merintahkan meraka, bermain bersama dengan mereka, berlemah lembut pada mereka, tidak pernah marah, membentak apalagi memukul.

    Download Murottal Al Qur’an mp3

    BANTAHAN ULAMA TERHADAP THARIQ AS-SUWAIDAN

    Rabu 23 Desember 2009, kategori Manhaj
    Diterjemahkan: Al-Akh Abu Almass Al-Ausathy
    بسم الله الرحمن الرحيم
    Segala puji hanya milik Allah dan shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan atas Rasulullah, segenap keluarga, shahabat serta siapa saja yang mengikuti petunjuk beliau. Adapun setelah itu:

    Wahai saudaraku yang menginginkan jalan As-Sunnah dan selamat dari berbagai kebid’ahan dan hizbiyyah, ini adalah sebagian dari ucapan-ucapan para ulama yang kami kumpulkan untuk anda tentang orang yang bernama “Thariq As-Suwaidan” agar engkau berada di atas kejelasan dalam urusanmu dan di atas keilmuan yang mendalam dalam agamamu. Hanya kepada Allah kita memohon agar memberikan taufiq untuk kami dan untuk engkau agar dapat berpegang-teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah di atas pemahaman As-Salaf Ash-Shalih. Sesungguhnya Rabb kita benar-benar Maha mendengar do’a.

    Fatwa Samahatul Imam Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baaz Rahimahullah

    Pertanyaan: Pada bagian akhir dari kaset-kaset DR. Thariq As-Suwaidan yang berjudul “Qishshatun Nihayah”, dia berkata bahwasannya anda telah sependapat dengan apa yang dia katakan, dan sesungguhnya anda tidaklah mendapati padanya sesuatu apapun yang perlu dikoreksi, lalu apakah yang dia katakan itu benar? Dan bagaimana menurut pendapat anda hukum mendengarkan kaset-kasetnya yang memuat tentang apa-apa yang telah terjadi serta perselisihan yang muncul di antara para Shahabat?
    Jawab: Saya belum mendengar kaset-kasetnya, akan tetapi telah sampai berita kepada kami bahwasannya kaset-kaset dia yang menyangkut permasalahan Shahabat serta fitnah-fitnah yang terjadi di antara mereka itu sungguh tidak pantas untuk diucapakan dan kami memiliki bukti yang kuat tentang itu. Dan kami telah menyarankan kepada pihak yang berwenang agar melarang dijualnya kaset-kaset tersebut supaya tidak terjadi fitnah karenanya.
    Kemudian sang penanya bertanya lagi: Lalu bagaimana dengan perkataan dia bahwa sesungguhnya anda telah sependapat dengannya?
    Maka beliau rahimahullah menjawab: "Saya belum mengetahui kaset-kaset itu dan saya tidak menyetujui sedikitpun tentang masalah ini, karena saya tidak mengetahuinya. Dan hanyalah kami nasehatkan agar tidak menyebar luaskan dan menyiarkan kaset-kaset yang berkaitan dengan kaset-kasetnya yang berisi tentang fitnah-fitnah yang terjadi di antara para Shahabat." Sampai di sini ucapan beliau.


    Fatwa Asy-Syaikh Al -Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah

    Pertanyaan: Wahai Syaikh, ada pertanyaan penting yang saya harapkan jawabannya: Bagaimana pendapat anda tentang kaset-kaset DR. Thariq As-Suwaidan dan apakah anda menasehatkan untuk mendengarkannya?
    Jawab: Saya nasehatkan untuk mendengarkan kaset-kaset yang bermanfaat dari manusia siapa pun dia, dan saya peringatkan agar tidak mendengarkan kaset-kaset yang tidak bermanfaat dari manusia siapapun dia. Seorang manusia yang mengerti dan berakal bisa mengetahui apa-apa yang tidak bermanfaat serta apa-apa yang bermanfaat. Maka kaset mana saja yang menyebarkan tentang apa-apa yang terjadi di antara para Shahabat berupa masalah-masalah ijtihadiyyah yang menyebabkan peperangan diantara mereka, entah itu sebab kekeliruan atau memang kesengajaan yang mana mereka semua berijtihad dalam perkara tersebut, maka sesungguhnya tidak boleh mendengarkan kaset semacam ini, sebab hal itu pasti akan menimbulkan pengaruh dalam hati, kecondongan kepada pihak yang ini dan pihak yang itu. Dan selama manusia masih berada dalam keselamatan, maka alhamdulillah.
    Jika ada seseorang yang mengatakan: Saya sekedar ingin mengetahui dan memahami duduk permasalahannya.
    Maka kami jawab: Alhamdulillah, telah banyak buku-buku yang ada, merujuklah engkau kepadanya. Adapun menyebarluaskan perselisihan yang terjadi di antara para Shahabat, maka ini tidak boleh selama-lamanya dan tidak boleh untuk mendengarkannya. Sebab termasuk keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwasannya mereka bersikap diam tentang perselisihan yang terjadi di antara para Shahabat dan menyerahkan urusan mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan mereka berkata: Apapun yang muncul dari mereka berupa kekeliruan, maka mereka semua adalah para mujtahid. Bisa jadi mereka benar sehingga mendapatkan dua pahala, atau bisa jadi salah sehingga mendapatkan satu pahala saja.
    Seandainya di sana terjadi kesalahan nyata bukan karena penta’wilan, maka sesungguhnya kejelekan-kejelekan mereka akan tertutup dalam kebaikan-kebaikan mereka. Yang akan menunjukkan kepadamu bahwasannya kejelekan-kejelekan itu akan dapat tertutup dalam kebaikan-kebaikan adalah apa yang terjadi pada Hathib bin Abi Balta’ah radhiyallahu ‘anhu ketika dia menulis sepucuk surat yang ditujukan kepada Quraisy yang mengabarkan kepada mereka bahwasannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hendak memerangi mereka. Maka Allah memberitahukan hal tersebut kepada Nabi-Nya. Dan waktu itu dia mengirimkan surat tersebut melalui seorang wanita, maka ditangkaplah wanita tersebut dan dihadapkan kepada Rasulullah, ternyata dia membawa surat dari Hathib yang mengabarkan kepada Quraisy bahwasannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hendak memerangi mereka. Jadi kala itu Hathib menjadi mata-mata Quraisy yang kafir? Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendatanginya lalu bertanya: "Apa ini wahai Hathib?" Maka dia menyampaikan alasan yang diterima oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, namun Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu meminta ijin untuk memenggal lehernya sebab dia telah memata-matai kaum Muslimin, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya:
    ((لاَ، إِنَّ اللهَ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ: اعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ))
    “Jangan, sesungguhnya Allah telah mengetahui keadaan orang-orang yang ikut Perang Badr lalu Allah berfirman: "Berbuatlah semau kalian, karena sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian.”
    Maka lihatlah bagaimana kesalahan besar yang terjadi ini berada tenggelam oleh kebaikan yang besar yang menutupinya. Jadi demikianlah hukum yang berlaku atas apa-apa yang terjadi di antara para Shahabat bahwa sesungguhnya mereka ini adalah para mujtahid. Sedangkan seorang mujtahid terkadang benar dan terkadang keliru. Jika dia salah maka dia mendapat satu pahala dan jika dia benar maka dia mendapat dua pahala. Dan bisa jadi sesungguhnya mereka ini tidak salah apa lagi sengaja melakukan kesalahan, akan tetapi mereka memiliki kebaikan yang banyak berupa jihad bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, mengemban Syari’at Islam yang mereka sampaikan kepada generasi setelah mereka dan selain dari itu berupa kebaikan-kebaikan yang besar yang mana kejelekan-kejelekan mereka tertutup dalam kebaikan-kebaikan mereka. Kalau demikian keadaannya, lalu apa urusan kita untuk menyebarkan kejelekan-kejelekan mereka sekarang? Bukankah ini bisa menyebabkan manusia mencintai si fulan namun tidak kepada si fulan yang lain atau si fulan tanpa si fulan yang lain, tentu demi Allah ini pasti terjadi. Jadi tidak boleh menyebarkan kaset-kaset semacam ini dan tidak boleh mendengarkannya, ini adalah prinsip. Sama saja apakah dari si fulan atau si fulan yang lainnya.
    Demikian pula wajib atas kita untuk berhati-hati dengan puncak kehati-hatian dari mendengarkan ucapan orang yang tidak memiliki keahlian khusus dalam perkara yang dia sampaikan. Misalnya kalau ada seorang yang ahli fiqih mendatangi kita lalu dia mulai berbicara tentang masalah sejarah, maka kita tidak bisa mempercayainya secara sempurna, mengapa? Sebab sejarah bukanlah bidangnya. Dan kita percaya kepada ahli sejarah meskipun dia berada di bawah orang tersebut dalam masalah fiqih, sebab sejarah merupakan bidangnya. Lalu bagaimana jika ada orang yang berbicara dengan kaset-kaset ini tidak memiliki keahlian khusus dalam ilmu-ilmu syari’at sedangkan keahliannya hanya dalam bidang fisika, kimia atau semacam itu, maka dia permisalannya seperti seorang pencari kayu bakar di malam hari. Wahai saudaraku sekalian jika kalian mendengar tentang orang yang mengambil kayu bakar dari sebuah tempat, kadang-kadang pada kayu tersebut ada seekor ular sedangkan dia tidak menyadarinya. Jadi pencari kayu bakar di malam hari adalah orang yang tidak bisa membedakan antara perkara yang bermanfaat dan perkara yang membahayakan, ini prinsip. Maka setiap orang yang tidak dapat membedakan antara yang berbahaya dan yang bermanfaat dia diumpamakan seperti pencari kayu bakar di malam hari.” Sampai di sini ucapan beliau.

    Fatwa Asy-Syaikh Al -Allamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah

    Pertanyaan: Telah muncul beberapa waktu belakangan ini kaset-kaset yang membicarakan tentang Shahabat serta apa-apa yang terjadi di antara mereka berupa berbagai macam fitnah yang didengar oleh orang-orang awam dan selain mereka. Apakah dalam permasalahan ini ada unsur pelanggaran terhadap ijmak Ahlus Sunnah untuk menahan diri tentang permasalahan yang terjadi di antara para Shahabat? Dan apa hukum mendengar, menjual dan membeli kaset-kaset tersebut?
    Jawab: Tidak boleh menyebarkan kaset-kaset ini, tidak boleh menjual dan membelinya bahkan wajib untuk menyitanya. Sebab itu akan menimbulkan keragu-raguan pada orang-orang bodoh tentang kemuliaan para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, jadi tidak boleh berbicara tentang permasalahan ini dan menyebarluaskannya di antara manusia, sebab termasuk aqidah Ahlus Sunnah adalah menahan diri dari apa-apa yang terjadi di antara para Shahabat. Sehingga mereka tidak masuk dalam permasalahan tersebut, tidak memulainya dan tidak menyebarluaskannya di tengah-tengah manusia khususnya orang-orang awam dan orang-orang bodoh.
    Dan juga orang yang merekam kaset-kaset ini berdasarkan apa yang sampai kepada kami dia bukanlah termasuk dari kalangan ulama, juga bukan termasuk orang yang ahli dalam bidang sejarah, dia hanyalah seperti anak kecil yang membaca sebuah buku lalu mencatat dalam keadaan dia tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah dan ini termasuk kesesatan yang terbesar -Wal ‘iyadzu billah-. Kalau memang dia itu termasuk dari kalangan ulama tentu dia tidak akan merekam tentang permasalahan ini, karena para ulama melarang hal tersebut. Selesai ucapan beliau.

    Fatwa Asy-Syaikh Al -Allamah Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad hafizhahullah Ta’ala

    Pertanyaan: Telah tersebar kaset-kaset tentang kisah-kisah para nabi serta keutamaan-keutamaan para Shahabat yang disampaikan seorang penceramah dan di dalamnya dia menyerang para Shahabat, maka apa tanggapan anda tentang penceramah ini serta apa-apa yang ada dalam kaset-kasetnya?
    Jawab: Demi Allah, barangsiapa menyerang para Shahabat berarti dia telah menzhalimi dirinya sendiri dan mendatangkan malapetaka serta bahaya atas dirinya sendiri. Sebab sesungguhnya mencela dan mengghibahi manusia -yakni selain yang diperbolehkan- adalah haram dan termasuk dosa-dosa besar. Lalu bagaimana jika ghibahnya itu terhadap para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mana mereka ini adalah sebaik-baik manusia serta merupakan orang-orang yang telah Allah jadikan sebagai perantara antara manusia dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidaklah manusia itu mengetahui Kitab dan As-Sunnah kecuali melalui jalan para Shahabat, dan tidaklah manusia itu mengetahui petunjuk dan tidaklah mereka itu mengetahui cahaya yang mana Allah telah mengeluarkan mereka dengan cahaya tersebut dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya, kecuali melalui jalan para Shahabat. Dan orang yang mencela mereka berarti dia telah menzhalimi dirinya sendiri dan mendatangkan bencana atas dirinya sendiri. Betapa berani mereka membicarakan sebaik-baik dan seutama-utama manusia yang mana tidak ada manusia yang semisal mereka baik sebelum atau sesudah mereka. Mereka ini adalah sebaik-baik umat ini yang mana umat ini adalah sebaik-baik umat di antara umat-umat yang lain. Umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia. Dan sebaik-baik dari umat ini adalah para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang Allah telah ridha terhadap mereka. Berdasarkan ini para ulama menganggap cukup jika diketahui bahwasannya kalau seorang itu adalah seorang shahabat maka tidak butuh kepada sesuatu yang lebih dari sekedar satu ucapan saja yaitu “seorang shahabat.” Sebab pershahabatan dengan Rasulullah memiliki kemuliaan yang besar. Barangsiapa meraihnya berarti dia telah beruntung dengan kebaikan yang banyak. Berdasarkan inilah dia tidak butuh akan pentsiqahan dan rekomendasi, bahkan jika diketahui bahwasannya seseorang itu adalah seorang shahabat, maka cukup hanya dengan dikatakan bahwa dia ini adalah seorang shahabat. Oleh karena itu tidak diketahuinya seseorang secara pasti dari kalangan mereka (Shahabat) hukumnya sama dengan yang sudah diketahui secara pasti. Berbeda dengan selain mereka, dimana menjadi suatu keharusan untuk mengetahui secara pasti tentang para rawi sehingga bisa diketahui apakah hadits-hadits mereka bisa diterima atau tidak. Adapun para Shahabat entah mereka itu dikenal atau tidak, maka kemajhulan yang ada pada mereka hukumnya sama dengan orang yang telah dikenal secara pasti. Oleh karena itu kaset-kaset yang memuat celaan terhadap para Shahabat ini tidak boleh untuk mencurahkan perhatian terhadapnya dan tidak boleh untuk menyibukkan diri dengannya, karena sesungguhnya di dalamnya terdapat bencana dan celaan terhadap sebaik-sebaik generasi. Dan sungguh Abu Zur’ah Ar-Razy rahmatullahi ‘alaihi telah berkata: “Jika kalian melihat ada seseorang yang mencela salah seorang dari Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ketahuilah sesungguhnya dia ini adalah seorang zindiq, karena sesungguhnya Al-Kitab adalah benar dan Rasul itu benar dan yang menyampaikan Al-Kitab dan As-Sunnah kepada kita adalah para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara orang-orang itu ingin menjatuhkan para saksi kita dengan tujuan untuk menganggap Al-Kitab dan As-Sunnah sebagai kebatilan? Mencela mereka itu lebih pantas, mereka itu adalah orang-orang zindiq."

    Fatwa Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih bin Sa’ad As-Suhaimy hafizhahullah

    Pertanyaan: Di sana ada sebagian da’i yang kami memiliki kaset-kasetnya yang telah tersebar yang juga sampai pada anda wahai Syaikh, semacam “Qashashul Anbiya?
    Jawab: Apakah yang engkau maksud adalah Thariq As-Suwaidan? Dia ini adalah seorang dajjal, wajib untuk memusnahkan kaset-kaset serta buku-bukunya. Dia telah mencela As-Sunnah dan memiliki sebuah perkumpulan yang didirikan di Kuwait yang berada dalam puncak bahaya. Di dalamnya dia mencela Shahabat dan mencela As-Sunnah, dalam keadaan Rafidhah yang memimpin perkumpulan tersebut. Dia berpendapat bahwasannya boleh bagi mereka untuk mencela para Shahabat. Puncaknya di sana disepakati bahwasannya mereka tidak mencela di depan Ahlus Sunnah. Intinya kaset-kasetnya penuh dengan dajjal, kedustaan-kedustaan, kisah-kisah dan hadits-hadits palsu serta peremehan Shahabat dan menganggap enteng perbedaan antara Ahlus Sunnah dengan Rafidhah yang kafir. Kaset-kasetnya penuh dengan keburukan, pelecehan dan berbagai hal yang semuanya menyelisihi syari’at dan menyelisihi dakwah. Yang mana hal itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan manhaj Ahlus Sunnah.
    Pertanyaan: Wahai Syaikh, apakah boleh memperjual-belikannya?
    Jawab: Tidak boleh memperjual-belikannya dan membagi-bagikannya, dan uang dari hasil kaset-kaset tersebut haram. Dia dan orang-orang semacamnya termasuk dari da’i-da’i kebatilan, dia lebih berbahaya dari Rafidhah sendiri. Saya berpendapat seperti ini, ada sebagian orang yang salah paham dengan berkata: "Anda mengkafirkannya." Saya tidak mengkafirkannya, tidak terhadapnya dan tidak pula terhadap yang lainnya. Akan tetapi ketika saya berbicara tentang seseorang semacam da’i-da’i hizbiyyah bahwa mereka itu lebih berbahaya dari Yahudi dan Nashrani, maksud saya adalah dipandang dari sisi keadaan manusia yang meyakini bahwasannya mereka itu adalah kaum Muslimin dan mereka memang Muslimin. Kita tidak mengkafirkan mereka, dan manusia meyakini bahwasannya mereka adalah para da’i serta menyeru kepada agama Allah ‘Azza wa Jalla sehingga manusia akan menjadikan ucapan-ucapan mereka sebagai dalil yang menyebabkan mereka terjatuh ke dalam berbagai macam kesesatan. Dari sinilah yang dimaksud bahwa mereka itu lebih berbahaya dari Yahudi dan Nashrani, dari sisi bahwasannya Yahudi dan Nashrani setiap orang tahu kalau mereka ini adalah Yahudi dan Nashrani, sedangkan orang-orang itu menyelinap ke dalam barisan kaum Muslimin. Selesai ucapan beliau.

    Fatwa Asy-Syaikh Al-Allamah Rabi’ bin Hady Al-Madkhaly hafizhahullah Ta’ala

    Beliau hafizhahullah ta’ala berkata: Saya belum mendengar dari orang ini yaitu Thariq As-Suwaidan kecuali satu kaset saja. Betapa hitam dan jelek keadaannya. Dia bangga dengan demokrasi, bangga dengan kebebasan, bangga dengan ini dan itu. Dia mencela Ihsan Ilahi Zhahir karena beliau telah menulis beberapa buku dalam rangka membela As-Sunnah serta orang-orang yang berpegang reguh dengannya dan mengutip riwayat-riwayat dengan bukti-bukti kuat yang membongkar kesesatan Syi’ah. Dia ini menyerang, membuat tipu muslihat, kedustaan dan membuat bingung kaum Muslimin dengan hal-hal yang membuat Rafidhah ridha dan senang. Dia menjadikan Shahabat tidak ada harganya selama-lamanya, sementara di antara kita tidak ada yang mencegahnya. Lalu engkau ini berada di atas manhaj siapa wahai saudaraku, manhaj yang mana yang engkau terapkan dan di atas agama apa engkau berjalan? Para Salaf mengatakan: "Barangsiapa melanggar kehormatan satu orang saja dari kalangan Shahabat berarti dia adalah zindiq." Sementara mereka ini justru telah mengkafirkan para Shahabat, melanggar hak-hak mereka dan mengkafirkan Abu Bakar dan ‘Umar. Mereka memiliki wirid-wirid yang berisi laknat mereka dan anggapan mereka bahwasannya para Shahabat adalah para thaghut dan keturunan mereka juga para thaghut. Yakni sebuah wirid yang panjang yang senantiasa mereka baca yang berisi tentang laknat dan pengkafiran mereka kepada para Shahabat. Lalu kebaikan apa yang akan diperoleh Islam dan kaum Muslimin dengan menjalin hubungan dengan mereka? Maka Saya berpendapat jika kaset-kasetnya semacam ini maka tidak boleh untuk mendengarkannya selama-lamanya.
    Penanya ini menanyakan tentang kaset-kaset Thariq As-Suwaidan, apakah kita boleh mendengarkannya atau tidak?
    Maka saya katakan: Saya belum mendengar miliknya kecuali satu kaset saja dan sudah cukup kejelekan yang saya dengar dalam kaset ini. Sebab dia telah menghina Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menghina siapa saja yang membela mereka. Dia telah mengatakan ucapan keji dan dusta tentang kitab-kitab ini (karya Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir) dengan menyatakan bahwa kitab-kitab ini tidaklah terpercaya dan tidak benar. Dia mengatakan bahwa dia telah merujuk langsung kepada kitab-kitab Syi’ah, maka dia menganggapnya itu sebagai kumpulan kesalahpahaman dan dia menyimpulkan itu sebagai kesalahpahaman yang itu mungkin terjadi menurutnya. Bila dicari-cari kesalahpahaman pada Ahlus Sunnah maka akan didapati lebih banyak dari ini. Dia menganggap Ahlus Sunnah lebih jelek dari kaum Rafidhah.
    Setelah ini, kita berpegang dengan agama apa? Agama itu sampai kepada kita melalui jalan Ahlus Sunnah, sedangkan kedustaan serta kesesatan itu sampai kepada kita melalui jalan Syi’ah, lalu bagaimana kita akan mengambil agama? Apakah agama Syi’ah ataukah agama Ahlus Sunnah." Selesai ucapan beliau.


    Fatwa Fadhilatusy Syaikh Al-Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmy hafizhahullah

    Pertanyaan: Apa pendapat anda tentang mendengarkan kaset-kaset yang semuanya dari Aidh Al-Qarny dan Thariq As-Suwaidan?
    Jawab: "Saya tidak memandang dan saya tidak berfatwa tentang bolehnya mendengarkan kaset-kaset Aidh Al-Qarny dan Thariq As-Suwaidan." Selesai ucapan beliau.

    Fatwa Asy-Syaikh Al-Allamah Ubaid bin Abdillah Al Jabiry hafizhahullah

    Pertanyaan: Ini adalah sebuah permintaan yang telah berulang kali dari anda yaitu berkenaan dengan bantahan terhadap Thariq As-Suwaidan?
    Jawab: Pertama: Siapakah Thariq As-Suwaidan itu? Dan apa (manhaj) Thariq As-Suwaidan itu? Siapa dia ini sebenarnya?
    Dia adalah seorang laki-laki dari penduduk Kuwait yang memiliki banyak buku dan kaset-kaset namun bukan termasuk orang yang ahli tentang ilmu syar’i, bidangnya adalah ilmu yang lain. Kabar terakhir yang sampai kepada saya bahwasannya dia ini menjadi pembantu di Fakultas Teknologi atau Teknik -dosen pembantu-, dan ini sudah mencukupi sebagai bukti untuk tidak bersandar padanya dan pada apa yang dia sampaikan dan yang dia katakan, karena sesungguhnya setiap ilmu itu memiliki pokok-pokok serta kaidah-kaidah yang mana ilmu itu dibangun di atasnya. Dan tidak akan mahir pada prinsip-prinsip serta kaidah-kaidah ilmu tersebut kecuali orang-orang yang mempelajarinya secara khusus dari kalangan para ulama, jadi ilmu syar’i memiliki pokok-pokok serta kaidah-kaidah, sedangkan Thariq As-Suwaidan ini dia tidak memiliki kemahiran padanya.
    Adapun apakah manhaj dia ini? Dia adalah seorang ikhwani dan dia berangkat dari kaidah mereka yang masyhur yang mereka warisi dari Al-Mannar, jadi pertamanya itu merupakan kaidah Al-Mannar. Kemudian berikutnya menjadi kaidah Ikhwani. Yaitu kaidah Al-Ma’dzirah wat Ta’awun yang berbunyi: “Kita saling bekerjasama dalam perkara yang kita sepakati dan kita saling toleransi dalam perkara yang kita perselisihkan.”
    Kaidah ini masuk pada kaum Muslimin yang sebagiannya merupakan bencana. Dan Al-Ikhwan Al-Muslimun menimpakan musibah melalui celah-celahnya dengan musibah yang besar. Saya memohon kepada Allah Rabb ‘Arsy yang Agung agar menghentikan siapa saja yang tidak mendapatkan petunjuk kepada kebenaran dari kalangan mereka untuk dimintai pertanggungjawaban pada hari kiamat nanti.
    Jadi kaidah ini merupakan sebuah pintu yang terbuka lebar untuk menyerang kaum muslimin bagi setiap kelompok yang ingin menyerang Islam. Sama saja apakah itu kelompok yang mengaku Islam seperti Rafidhah -yaitu kelompok yang mereka namakan dengan Syi’ah-, atau yang bukan dari Islam seperti Yahudi dan Nashrani.
    As-Suwaidan memiliki kaset-kaset yang menurutku mengandung ucapan -atau kerjasama-dalam sebuah perkumpulan di Husainiyyah -dan Husainiyyah adalah benteng-benteng Rafidhah dan tempat-tempat pertemuan serta peribadahan mereka-. Nampak dari kaset ini upaya pendekatan yang jelas antara Ahlus Sunnah dengan Rafidhah, maka tidaklah aneh selama orang itu berangkat dari kaidah ini, karena dia memiliki pendahulu dan itu adalah sejelek-jelek pendahulu dan teladan.
    Jadi yang pertama: Ketika muncul jama’ah Al-Ikhwanul Al-Muslimun yang didirikan oleh Hasan Al-Banna di Mesir, seingat saya saya muncul pada pertengahan abad ke-20 M, ini berdasarkan penanggalan mereka, sedangkan kita tidak menggunakan penanggalan Masehi, bagaimana Hasan Al-Banna memunculkan kaidah ini, menjadikannya sebagai asas dan menjadikannya sebagai prinsip dakwah?
    Dia membangun “Zona Pendekatan antara As-Sunnah dan Syi’ah" di Mesir. Dia mengatakan beberapa ucapan diantaranya: "Sesungguhnya markas-markas Al-Ikhwan Al-Muslimun dan rumah-rumah Al-Ikhwan Al-Muslimun terbuka untuk Syi’ah." Dia biasa mengundang para pembesar Rafidhah seperti Nawwaf Shafawy, dan dia pernah berhubungan dengan mereka ketika berhaji, menyentuh perasaan mereka dan bersikap lembut kepada mereka dengan ucapan-ucapan diantaranya: “Tidak ada perbedaaan antara kami dan kalian, antara kami dan kalian yang ada hanyalah masalah sepele yang bisa diselesaikan, seperti masalah nikah Mut’ah.”
    Lalu mana celaan terhadap para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan mana pengkafiran mereka terhadap mereka -yang tidak hanya tiga, sepuluh atau tujuh?- Mana ucapan mereka bahwasannya Al-Quran telah dirubah!? Mereka berhubungan dengannya hingga muncul Al-Mahdiy yang ditunggu-tunggu. Mana tuduhan dusta mereka terhadap Aisyah Radhiyallahu ‘anha Ummul Mu’minin istri pemimpin segenap makhuk Shallallahu ‘alaihi wa salam? Ini semua adalah sebagian dari ucapan-ucapan Rafhidhah yang diabaikan oleh Hasan Al-Banna dan dia tidak menganggapnya sebagai masalah, karena memang prinsip dia itu adalah menghimpun, mengumpulkan dan menjahit (menyatukan semua golongan).
    Yang kedua: dia telah mengucapkan sebuah ucapan yang mengandung kekufuran secara nyata, dan janganlah kalian menukil dariku bahwasannya saya telah mengkafirkan Al-Banna, akan tetapi ucapannya adalah kekufuran. Dia mengatakan: “Tidak ada antara kita dengan Yahudi itu permusuhan agama, yang ada hanyalah pertikaian masalah ekonomi, karena Allah memerintahkan kita untuk mencintai mereka dan bersikap lunak kepada mereka.” Dan dia berdalil dengan ayat:
    ﮋ ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﮊ العنكبوت: ٤٦
    “Dan janganlah kalian itu berdebat dengan Ahli Kitab kecuali dengan cara yang paling baik.” (QS. Al-Ankabut: 46)
    Ini diriwayatkan darinya oleh Mahmud Abdul Halim -yang dia ini termasuk orang-orang terdekatnya- dalam kitabnya “Al-Ikhwan Ahdatsun Shana’at At-Tarikh.”
    Kemudian setelah itu, siapa saja yang berada di atas manhaj Al Banna dan manhaj Al-Ikhwan Al-Muslimun dalam berda’wah berarti dia berada di atas kaidah ini. Maka darinyalah muncul seruan kepada penyatuan seluruh agama dan dialog antar agama. Maka engkau tidak akan menjumpai seorang Ikhwani tulen kecuali dia berada di atas prinsip “Pendekatan”. Dan yang paling getol menyerukan prinsip ini sepanjang pengetahuan kami adalah Hasan bin Abdullah At- Turaby As-Sudany dan Yusuf Al-Qaradhawy Al-Mishry. Yusuf Al-Qaradhawy -dan saya memiliki bukti-bukti kuat atas apa-apa yang saya nukil darinya- dia menamai kaidah ini dengan "kaidah emas" dan dia menerangkan sebab munculnya seruan kepada penyatuan agama-agama adalah karena hidup ini bisa menerima lebih dari satu peradaban dari bisa menerima lebih dari satu agama, bahkan agama yang satu bisa menerima lebih dari satu pendapat, karena agama itu sifatnya elastis. Maksudnya agama itu elastis dapat menerima beberapa macam syari’at. Itu dimunculkan oleh Al-Qaradhawy dan orang-orang semacamnya. Itu bukanlah agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu “berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkannya dan tunduk kepada-Nya dengan ketaatan serta berlepas diri dari kesyirikan dan orang-orangnya.” Islam yang murni itu adalah seruan persatuan dan perekatan yang menghimpun siapa saja yang mau bergabung! Demikianlah menurut Yusuf Al-Qaradhawy. Jadi Rafidhah, Shufiyyah, orang-orang yang berkeyakinan Wihdatul Wujud, Bathiniyyah, Hululiyyah, Quburiyyah mereka semua adalah muslimin yang sebenar-benarnya berdasarkan kaidah ini; karena mereka itu sepakat bersama seluruh kaum Muslimin dan Ahlus Sunnah atas ucapan “Laa Ilaaha Illallaah” walaupun mereka berselisih pada yang selain itu, jadi masing-masing berijtihad, maka sampailah dia pada perkara yang dia yakini berdasarkan hasil ijtihadnya.
    Maksudnya adalah: bahwasannya Thariq As-Suwaidan berangkat dari kaidah ini; ini pada kebiasaan yang umum dalam da’wahnya. Adapun da’wahnya yang khusus diantaranya adalah: menyebarkan perselisihan yang terjadi antara para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam padahal ini telah disepakati untuk ditingggalkan secara ijmak dan bahwasannya itu tidak boleh dan diharamkan untuk menyebarkan apa-apa yang terjadi diantara para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam karena hal itu akan menimbulkan fitnah di tengah-tengah kaum Muslimin dan menggiring manusia kepada perkara yang mana para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berlepas diri darinya.
    Demikian pula dia bersandar pada kaedah-kaedah berdasarkan kisah-kisah, itu bukanlah kaidah-kaidah yang tegak di atas Al-Kitab dan As-Sunnah. Bahkan orang ini suatu kali pernah mengatakan –masih dalam kaset yang baru saja saya sebutkan kepada kalian, dia mengajak kepada pendekatan dan menyerukan kepada persatuan barisan dan menghormati perasaan selama dakwah mereka itu satu dan tujuan mereka satu- seperti dia mengatakan: “Janganlah engkau mencela Abu Hurairah di depanku, akan tetapi celalah dia di rumahmu.” Jadi ini adalah persetujuan darinya atas celaan terhadap para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan dia hanyalah mengingkari celaan tersebut jika dilakukan terang-terangan, karena hal itu bisa melukai perasaan dan berakibat buruk terhadap upaya untuk menyatukan barisan dan tujuan. Barangkali dia mengatakan ini menjelang waktu pemilihan umum. Ini kenyataannya. Petikan yang ringkas tentang As-Suwaidan, siapakah dia dan apa manhajnya? Kaidah apa yang dia pegangi?! Sehingga kalian mengetahui sebabnya. Dan telah dikatakan sejak dahulu: “Jika sebab telah diketahui, maka hilanglah keheranan.” Selesai ucapan beliau.

    Fatwa Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz Ar Rajihy hafizhahullah

    Al-Allamah Ar-Rajihy berkata dalam penjelasan sebuah kitab yang agung yaitu Aqidatus Salaf wa Ashhabil Hadits: "Kaset-kaset Thariq As-Suwaidan yang menyebarkan aib-aib para Shahabat wajib untuk memusnahkannya dan tidak mendengarkannya; karena ini merupakan usaha menyebarkan aib-aib para Shahabat dan ini bathil dan termasuk kebathilan yang paling bathil. Jadi tidak boleh merekam perselisihan-perselisihan yang terjadi diantara para Shahabat dalam kaset-kaset dan tidak pula dalam buku-buku. Bahkan wajib menahan diri untuk tidak membicarakan perselisihan yang terjadi diantara para Shahabat dan meyakini bahwasannya para Shahabat merupakan sebaik-baik dan seutama-utama manusia, tidak ada dan tidak ada manusia seperti mereka, mereka adalah manusia yang paling mulia setelah para nabi, Allah telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya. Seandainya mereka bukan manusia yang paling utama pasti Allah tidak akan memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya. Merekalah yang menyampaikan agama kepada kita dan membawa syariat ini untuk kita, mereka menyampaikan untuk kita Al- Qur’an dan As-Sunnah. Maka mencela mereka berarti mencela Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun masalah yang terjadi diantara mereka berupa perbedaan pendapat perselisihan, maka ini sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qadhy Ibnul Araby dalam kitab Al-Awashim Minal Qawashim, demikian pula seperti yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah dalam Al-Aqidah Al-Washitiyyah: bahwa perselisihan-perselisihan yang terjadi diantara para Shahabat atau apa yang diriwayatkan dari Shahabat berupa perselisihan-perselisihan itu, sebagiannya ada yang dusta yang tidak ada dasar kebenarannya sama-sekali, ada yang memang benar asalnya namun telah ditambah-tambahi atau dikurang-kurangi dan ada pula yang memang benar. Dan yang benar darinya maka bisa jadi berupa mujtahid yang benar yang mendapatkan dua pahala atau mujtahid yang keliru yang mendapatkan satu pahala.

    Fatwa Fadhilatusy Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly hafizhahullah

    Beliau hafizhahullah berkata: Saudara ini bertanya tentang seorang doktor yang bernama Thariq As-Suwaidan. Orang ini yang telah menyebarkan kaset-kaset fitnah yang berisi celaan dan cacian terhadap para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyebarluaskan kaset-kaset itu untuk kepentingan Syi’ah. Jadi dia ini disusupkan oleh Syi’ah ke dalam barisan Ahlus Sunnah. Dan sungguh saya telah mendengarkan sebagian ceramahnya di sebagian Husainiyyah dimana dia berkata kepada Syi’ah: “Celalah para Shahabat Nabi, tidak ada yang melarang, celalah mereka akan tetapi janganlah kalian mencela di hadapan Ahlus Sunnah!”
    Oleh karena itu para ulama seperti Asy-Syaikh Bin Baaz Rahimahullah, Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah, Asy-Syaikh Al-Abbad dan selain mereka setelah mendengar dan tersebarnya kaset-kaset dia, mereka berfatwa demikian.
    Diterjemahkan oleh: Al-Akh Abu Almass Al-Ausath
      
    Sumber naskah asli: http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=321699

    Daurah SMU/SMK Se-Eks Karisidenan Surakarta ke 4 di Solo 25-28/12/2009

    Kamis 15 Desember 2009, kategori Info Dakwah
    Penulis: Webmaster


    Bismillah..
    Hadirilah daurah SMU/SMK Se-Eks Karisidenan Surakarta dengan tema:

    KU TEMUKAN CINTA DI DALAM MANHAJ SALAF

    Waktu : Hari Jum'at s/d Senin , 25-28/12/2009

    Tempat : Masjid Ibnu Taimiyyah (Selatan SD Cemani V dan VI)
    Jl. Ciptonegaran, Sanggrahan, Grogol, Sukoharjo


    Peserta :
    Khusus Pria

    Penyelenggara : Ma’had Darussalaf, Solo
    Jl. Ciptonegaran, Rt. 04/VI, Sanggrahan, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah

    Kontak :
    081377028117 - 081804484746

    NB : Insya ALLAH daurah ini akan dipancarluaskan melalui gelombang radio 88.2 FM (daya jangkau sekitar Sanggrahan)

    Kajian Umum Islam Surabaya

    Selasa 12 Desember 2009, kategori Info Dakwah
    Penulis:


    insya Allooh, akan dilaksanakan kajian 'ilmiah sbb :

    Waktu : Hari Ahad, 03 Muharrom 1431 H (20 Desember 2009) mulai jam 08.00 s..d selesai

    Tempat : Masjid Darul Arqom (Perumahan Babatan Indah, Jl.Raya Wiyung, Kel.Babatan, Kec.Wiyung, Surabaya)

    Tema : Sudahkah Kita Tunaikan Hak-Hak Nabi shollalloohu 'alaihi wasallam ???

    Penceramah : Al Ustadz Muhammad Rijal, Lc (redaktur majalah Asy Syari'ah dan pengasuh Ma'had Ibnu Taimiyyah Sumpiuh, Banyumas)

    Kontak : 031-7522834 (Masjid) atau 0811300023 (Abu Hamzah)

    - terbuka untuk umum (pria/wanita)
    - wanita disediakan tempat terpisah

    Selengkapnya klik pamflet ini :

    http://www.salafy.or.id/upload/dauroh_sby_20des09.jpg

    Daurah SMU/SMK Se-Eks Karisidenan Surakarta ke 3 di Solo 21-24/06/2009

    Kamis 04 Juni 2009, kategori Info Dauroh
    Penulis: Webmaster

    Bismillah..
    Hadirilah daurah SMU/SMK Se-Eks Karisidenan Surakarta dengan tema:

    GENERASI MUDA SALAF DI TENGAH ARUS PERUBAHAN ZAMAN

    Waktu : Hari Ahad s/d Rabu , 21-24/6/2009

    Tempat : Masjid Ibnu Taimiyyah (Selatan SD Cemani V dan VI)
    Jl. Ciptonegaran, Sanggrahan, Grogol, Sukoharjo

    • Pembicara : Al Ustadz Ayip S -hafizhahullah-
    • Tema: Cara Pandang Salaf Terhadap Pendidikan

    • Pembicara : Al Ustadz Mukhtar Ibnu Rifa'i-hafizhahullah-
    • Tema: Keteguhan Salaf Di Atas Jalan Hidayah

    • Pembicara : Al Ustadz Idral Harits -hafizhahullah-
    • Tema: Nasehat-nasehat Ulama Salaf Tuk Generasi Muda

    • Pembicara : Al Ustadz Marwan -hafizhahullah-
    • Tema: Memilih Jalan Tauhid

    • Pembicara : Al Ustadz Rifa'i -hafizhahullah-
    • Tema: Bakti Generasi Muda Salaf Kepada Orang Tua

    Peserta :
    Khusus Pria

    Penyelenggara : Ma’had Darussalaf, Solo
    Jl. Ciptonegaran, Rt. 04/VI, Sanggrahan, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah

    Kontak :
    081377028117 - 081804484746

    NB : Insya ALLAH daurah ini akan dipancarluaskan melalui gelombang radio 88.2 FM (daya jangkau sekitar Sanggrahan)

    Membongkar Kedok JIL - Persatuan Hakiki ala Salaf (2)

    Rabu, 03 Juni 2009 :: kategori Firqoh-Firqoh
    Penulis: Al Ustadz Ali Basuki, Lc

    Sungguh seorang yang menyelisihi (kebenaran) hanya berakibat kebinasaan terhadap diri sendiri. Dan bukanlah kebenaran diukur dari banyaknya orang, namun diukur dari kecocokan terhadap al-haq, walaupun yang berada di atasnya hanya segelintir orang. Bahkan walaupun di suatu masa tidak ada umat manusia yang mengikutinya kecuali satu orang, maka tetap dia dikatakan di atas al-haq dan dia berjamaah.” (Lamhah ‘Anil Firaq Adh-Dhallah hal. 24-25)
    Hal ini sebagaimana yang diucapkan oleh Ibnu Mas’ud: “Al-Jamaah adalah yang mencocoki al-haq walaupun engkau sendiri.” (Ighatsatul Lahfan, 1/70)
    Menjaga persatuan dalam semua aspek kehidupan dengan batasan dan ketentuan Al Qur`an dan As Sunnah yang dibangun di atas pemahaman salaf merupakan kewajiban bagi Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dan hal ini terwujudkan dengan:
    1. Membangun persatuan dengan hanya mengharap wajah Allah. Allah berfirman yang artinya:
    “Tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya memurnikan agama bagi-Nya.” (Al-Bayyinah: 5)
    2. Memegangi tali Allah. Allah berfirman yang artinya:
    “Berpeganglah kalian semua kepada tali Allah dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali ‘Imran: 103)
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
    “Ketahuilah, sesungguhnya aku meninggalkan dua perkara yang berat pada kalian, salah satunya Kitabullah k dan dia adalah tali Allah. Barangsiapa mengikutinya dia berada di atas hidayah dan barangsiapa yang meninggalkannya ia di atas kesesatan.” (Lihat Ash-Shahihah no. 2024 dan Shahihul Jami’ no. 4472)
    3. Mengusung dan membela pemahaman para shahabat.
    Ibnu Mas’ud Radiyallahu ‘anhu berkata: “Barangsiapa ingin mengambil uswah maka hendaknya mengambil uswah dari para shahabat Rasulullah n. Mereka adalah umat yang paling bersih hatinya, paling dalam ilmunya, tidak suka membebani diri, mendapatkan petunjuk yang paling lurus, dan memiliki kondisi yang paling mulia. Suatu kaum yang telah Allah pilih untuk menyertai Nabi-Nya, dan menegakkan agamanya. Ketahuilah kemuliaan mereka dan ikuti jalan-jalan mereka. Sungguh mereka berada di atas petunjuk yang lurus.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm wa Fadhlihi, 2/97)
    4. Membela dan menjaga kehormatan para Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
    Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
    “Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (Fathir: 28)
    “Bertanyalah kalian kepada ahludz-dzikr apabila kalian tidak mengetahui.” (Al-Anbiya`: 7)
    “Katakanlah: apakah sama antara mereka yang berilmu dan mereka yang tidak berilmu?” (Az-Zumar: 9)
    Al-Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata: “Hendaknya kalian berpegang teguh dengan atsar-atsar dan para ulamanya. Bertanyalah kepada mereka dan duduklah bersama mereka, serta raih ilmu dari mereka.” (Syarhus Sunnah hal. 111)
    Beliau juga berkata: “Takutlah kepada Allah! Takutlah kepada Allah dalam dirimu! Hendaknya kamu berpegang dengan atsar dan dan para ulamanya, hendaknya kalian mengikuti. Sesungguhnya agama itu dengan mengikuti (ittiba’).” (Syarhus Sunnah hal. 128)
    Salamah bin Sa’id berkata: “Para ulama adalah lentera yang dengannya umat akan mencari secercah cahaya.” (Sallus Suyuf wal Asinnah hal. 68)
    5. Menjaga jama’atul muslimin dan imam mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
    “Barangsiapa menginginkan bagian tengah dari jannah maka hendaknya ia berpegang dengan jamaah.” (HR. Ahmad, 1/18)
    6. Berkumpul di bawah satu amir (pemimpin). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
    “Barangsiapa taat kepadaku sungguh dia telah taat kepada Allah dan barangsiapa bermaksiat kepadaku sungguh dia telah bermaksiat kepada Allah. Dan barangsiapa patuh kepada amir sungguh dia telah patuh kepadaku dan barangsiapa bermaksiat kepada amir maka sungguh dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR Muslim,Syarah Shahih Muslim, 12/223)
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
    “Penguasa adalah naungan Allah di bumi, barangsiapa memuliakannya maka sungguh dia telah memuliakan Allah dan barang siapa menghinakannya maka sungguh Allah akan menghinakannya.” (Hasan, HR Ibnu Abi Ashim lihat Silsilah Ash-Shahihah, 5/376)

    Adapun ketaatan kita tentunya dalam perkara yang baik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
    “Mendengar dan patuh merupakan kewajiban baik dalam perkara yang disukai atau dibenci, selama tidak diperintahkan dalam kemaksiatan dan apabila diperintahkan dengan kemaksiatan maka tidak didengarkan dan jangan dipatuhi.” (Fathul Bari, 13/121)
    Umat dahulu selalu terpecah, karena sikap dan perilaku mereka yang menjauh dari ittiba’ (tunduk untuk meneladani). Berikut ini beberapa sebab perpecahan yang harus dijauhkan dalam kehidupan Muslimin:
    1. Mengikuti hawa nafsu.
    Mengikuti hawa nafsu merupakan sumber bencana yang akan menyeret dalam berbagai noda kehidupan. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
    “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya menjadi sesembahan dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmunya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup di atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberikannya petunjuk sesudah Allah, tidakkah kalian mengingat.” (Al-Jatsiyah: 23)
    Ikrimah rahimahullah berkata: “(Makna ayat ini adalah) menyembah apa yang diinginkan hawa nafusnya atau yang dianggap baik. Apabila dia sudah menganggap baik (hawa nafsunya-ed) maka sungguh dia telah mengambil sebagai sesembahan.” (Fathul Qadir, 5/11)
    “Dan siapakah yang lebih sesat daripada yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah.” (Al-Qashash: 50)
    “Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Shad: 26)
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bahkan berlindung dari kemungkaran hawa nafsu:
    “Ya Allah, jauhkan kami dari kemungkaran akhlak, hawa nafsu, dan penyakit.” (As-Sunnah, Ibnu Abi ‘Ashim: 12)
    Ibnu ‘Abbas c berkata: “Setiap hawa nafsu adalah sesat.” (Syarhu Ushulil I’tiqad, 1/130 karya Al-Lalikai)
    Abul ‘Aliyah berkata: “Aku tidak tahu mana anugrah yang lebih besar bagiku, apakah saat aku dibimbing Allah dari kesyirikan menuju Islam ataukah ketika Allah menjaga keislamanku dari berbagai hawa nafsu?” (Syarhu Ushulil I’tiqad, 1/131 karya Al-Lalikai)
    Al-Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata: “Semua hawa nafsu adalah jelek dan akan menyeru kepada pemberontakan.” (Syarhus Sunnah no. 135 hal. 122)
    Al-Imam Asy-Syathibi berkata: “Mengikuti hawa nafsu adalah sikap menyeleweng dari Shirathil Mustaqim.” (Al-I’tisham: 401)

    2. Kebodohan/jahil dalam memahami kandungan makna Al Qur`an, As Sunnah, atsar-atsar para shahabat, atsar tabi’in, dan atsar para ulama Ahlus Sunnah yang diikuti tanpa difahaminya kaidah-kaidah fiqhiyyah yang akan menyempurnakan ilmu mereka. Juga minimnya ilmu ushul fiqih, al-’amm, al-khash, al-muthlaq, al-muqayyad, an-nasikh wal mansukh, al-manthuq, al-mafhum, asbaabun nuzul, dll. (Sallus Suyuf hal. 111)
    Perkara ini akan menjebak mereka sehingga terjatuh dalam berbagai pemahaman yang batil, bahkan membangun keyakinan di atas prasangka (dugaan).
    Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
    “Sesungguhnya dia (setan) menyuruh kalian berbuat jelek dan keji, dan kalian berkata atas nama Allah dengan tanpa ilmu.” (Al-Baqarah: 169)
    “Dan janganlah kamu berkata dengan tanpa ilmu.” (Al-Isra: 36)
    Al-Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata: “Ilmu adalah apa yang telah datang dari shahabat-shahabat Nabi Muhammad n. Dan sesuatu yang tidak datang dari mereka bukan dinamakan ilmu.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 1/29)
    Sungguh suatu pribadi yang mulia dan sikap kehati-hatian yang tinggi saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam berkata:
    “Sesungguhnya aku adalah manusia, apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu perkara agama maka ambillah. Dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu yang itu adalah hasil pikiranku maka ketahuilah bahwa aku adalah manusia.” ( Shahih, HR. Muslim no. 2326 dalam Kitab Al-Fadha`il)
    ‘Umar bin Al-Khaththab Radiyallahu ‘anhu berkata: “Hati-hati kalian dari ashhabur ra`yi (pengagum akal). Sesungguhnya mereka adalah musuh-musuh As Sunnah. Mereka tidak mampu/lemah untuk menghafal hadits-hadits, sehingga mereka berkata dengan akal. Sesatlah mereka dan menyesatkan.” (Ushulus Sunnah karya Ibnu Abi Zamanin hal. 25 dan Al-Lalikai dalam Syarh Ushululil I’tiqad, 1/123)
    Ibnu Mas’ud Radiyallahu ‘anhu berkata: “Telah pergi (hilang) para pembaca dan ulama kalian, sehingga manusia mengambil para pemimpin bodoh, yang hanya mengiyakan suatu perkara dengan akal.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm wa Fadhlih, 2/136)
    Abu Bakr bin Abi Dawud berkata: “Tinggalkan oleh kalian pendapat-pendapat dan ucapan-ucapan orang, sungguh ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam lebih suci dan lebih jelas.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm wa Fadhlih, 2/135)
    Ibnul Mubarak ditanya: “Kapan seseorang boleh berfatwa?” Beliau menjawab: “Ketika dia berilmu tentang atsar dan berakal dengan baik.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm wa Fadhlih, 2/47)
    Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Semua perkara yang telah Allah tegakkan sebagai Hujjah di dalam Al-Kitab (Al-Quran) atau yang melalui lisan Nabi-Nya merupakan suatu nash yang jelas tidak boleh bagi orang yang telah berilmu untuk menyelisihinya.” (Ar-Risalah hal. 560)
    Muhammad bin Salamah berkata: “Tidak boleh bagi seseorang yang tidak berilmu tentang Al-Quran, As-Sunnah, dan apa yang telah dilakukan oleh generasi yang dahulu dari ulil amr (Ulama Salaf) untuk berijtihad dengan akalnya, sehingga mengakibatkan ijtihadnya menyelisihi Al-Quran dan As-Sunnah serta apa yang telah di sepakati.” (Jami’ Bayanil Ilm wa Fadhlih, 2/73)
    Al-Imam Al-Barbahari berkata: “Ketahuilah semoga Allah merahmatimu! Sungguh siapa yang berkata dalam agama Allah dengan akal, qiyas dan takwil tanpa menyertakan hujjah dari As Sunnah dan Al-Jamaah (bimbingan shahabat) maka sungguh dia telah berkata atas nama Allah tanpa ilmu dan barangsiapa yang berkata atas nama Allah tanpa ilmu, maka sungguh dia termasuk orang yang membebani diri.” (Syarhus Sunnah, hal. 105)
    Tegar di atas ilmu yang benar serta membangun kewaspadaan dalam beramal adalah pondasi persatuan yang kokoh.
    Allah Ta’ala berfirman:
    “Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 63)
    Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat di atas: “Akan ditimpakan dalam hati mereka kekufuran, kemunafikan, atau kebid’ahan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/373)
    Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: “(Maknanya adalah) kesyirikan dan kejelekan.” (Taisirul Karimir Rahman hal. 525)
    Kebodohan terhadap dasar-dasar ilmu (ushulul ‘ilm) merupakan bencana yang akan mencabik-cabik persatuan yang hakiki dan ahlul bid’ah merupakan benalu yang meracuni persatuan.
    Ibnu Baththah berkata: “Semoga Allah menyelamatkan kami dan kalian semuanya dari pemikiran-pemikiran yang muncul dari hawa nafsu yang selalu mengekor dan madzhab-mazdhab yang bid’ah. Sungguh pelakunya telah keluar dari persatuan menuju percerai-beraian, dari suatu kestabilan menuju perpecahan, dari kedamaian menuju ketakutan, dari kesepakatan menuju perselisihan, dari cinta menjadi kebencian, dari keikhlasan nasehat dan loyalitas menjadi kecurangan dan permusuhan. Dan semoga kami dan kita semua dilindungi dari berloyalitas terhadap segala bentuk nama/gerakan yang menyelisihi Islam dan As Sunnah.” (Sallus Suyuf hal. 25 karya Tsaqil bin Shalfiq)

    3. Mengikuti suatu yang mutasyabih (samar)
    Allah Ta’ala berfirman:
    “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya.” (Ali ‘Imran: 7)
    Asy-Syaikh As-Sa’di berkata: “Adapun orang-orang yang di hatinya ada penyakit, penyimpangan, penyelewengan yang dikarenakan jeleknya tujuan, maka mereka mengikuti suatu yang mutasyabih darinya (Al Qur`an) kemudian menjadikannya dalil atas ucapan mereka yang batil dan pemikirannya yang hina, dalam rangka mencari fitnah dan menyelewengkan pemahaman terhadap Kitab-Nya, serta mentakwilkannya sesuai dengan aliran dan madzhab mereka yang batil sehingga mereka sesat dan menyesatkan. Adapun para ulama yang kokoh (ilmunya) terhadap Al Qur`an, yang ilmu dan keyakinan menancap di dada mereka sehingga melahirkan baginya suatu amalan dan berbagai pengetahuan. Mereka mengetahui bahwa Al Qur`an semuanya datang dari Allah, semuanya haq, baik yang muhkam atau yang mutasyabih. Dan suatu yang haq tidak akan bertentangan. Ketika mereka mengetahui dan memahami makna al-muhkam dengan sebenar-benarnya sehingga mereka mampu mengembalikan suatu yang samar kepadanya (al-muhkam), yang sebelumnya merupakan suatu yang rumit dikarenakan kurangnya ilmu dan kurangnya pengetahuan. Saat mereka mengembalikan suatu yang mutasyabih kepada al-muhkam, maka semuanya menjadi al-muhkam.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 101-102)
    Kaum pengekor hawa nafsu selalu mencari sesuatu yang samar atau belum jelas, sebagai pijakan untuk memperkuat kebatilan. Sehingga persatuan yang mereka bangun bagai merajut benang dalam kegelapan. Terperosoknya orang-orang Khawarij disebabkan mereka mengambil suatu keyakinan dari sesuatu yang belum jelas bagi mereka.
    Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah berkata: “Yang menjelaskan perkara ini adalah, apa yang telah diriwayatkan Ibnu Wahb dari Bukair, sesungguhnya dia telah bertanya kepada Nafi’ bagaimana pendapat Ibnu ‘Umar tentang Haruriyah (Khawarij)? Beliau berkata: Ia memandang mereka sebagai orang yang terjelek diantara makhluk Allah. Mereka mengambil ayat-ayat yang diturunkan kepada orang-orang kafir dan diarahkan kepada orang-orang yang beriman. Sa’id bin Jubair menerangkan perkara ini dengan berkata: Haruriyah mengikuti sesuatu yang mutasyabih dari firman Allah: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang telah diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang kafir” dan digandengkan dengan: “Kemudian orang-orang yang kufur menyeleweng dari Rabb mereka.” Apabila mereka melihat pemimpin yang tidak berhukum dengan al-haq, mereka berkata: ‘Telah kufur, telah kufur, menyeleweng dari Rabbnya, dan barang siapa yang menyeleweng dari Rabbnya sungguh dia telah musyrik, maka mereka orang-orang musyrik telah keluar dari umat (Islam).’ Mereka perangi siapa saja yang menyelisihinya, dengan mentakwilkan ayat ini.” (Al-I’tisham hal. 707)

    4. Ta’ashshub dan Hizbiyyah
    Sebuah loyalitas mutlak hanya untuk al-haq. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
    “Katakanlah, inilah jalan agamaku. Aku dan orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan bashirah (ilmu) maha suci Allah dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108)
    Ahlus Sunnah akan selalu berupaya komitmen terhadap al-haq yang telah diserukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan diamalkan para shahabatnya. Adapun seruan hizbiyah yang menggaung di tengah-tengah umat saat ini dengan mengajak kepada golongan, kelompok, partai, dan menjauh dari bimbingan serta manhaj salaf, maka hakekatnya mereka adalah penyeru kepada perpepecahan dan perselisihan. Kita bisa melihat bagaimana NII, Ikhwanul Muslimin, Jama’atut-Tabligh, Jama’atut-Takfir wal Hijrah, Islam Jama’ah (LDII), JIL, Al-Qaeda dll, membingungkan umat dengan berbagai konsep yang notabene adalah suatu kaum yang mengajak bernafas dalam lumpur.
    Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
    “Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka, dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang di golongan mereka.” (Ar-Rum: 32)
    Asy-Syaikh As-Sa’di berkata dalam menafsirkan ayat di atas: “Setiap golongan akan berkelompok dan ber-ta’ashshub, untuk membela apa yang dimiliki dari kebatilan, menggilas dan memerangi yang lain.” (Taisirul Karimir Rahman hal. 590)
    Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam berkata: “Seruan fanatisme terhadap tokoh tertentu, merupakan perkara yang tertolak menurut syariat Allah, walaupun diiringi dengan kalimat-kalimat yang mempersatukan berbagai firqah tanpa melihat akidah dan manhaj, bahkan tanpa mempedulikan bimbingan para ulama salaf. Ini merupakan seruan hizbiyah yang jauh dari makna persatuan yang sebenarnya.
    Sebagaimana terjadi pada Ikhwanul Muslimin, Asy-Syaikh Tsaqil bin Shalfiq berkata: “Sungguh keberadaannya membawa perpecahan diantara kaum muslimin, hizbiyah, permusuhan, pertentangan, fanatisme golongan, serta mengikat tali loyalitas dengan fanatik pada golongan (tak peduli) siapapun mereka baik seorang Asy’ari, Rafidhah, Sufi, pengkultus kuburan, dan melepaskan ikatan tali loyalitas terhadap mereka yang tidak bergabung dengan partainya walupun mereka adalah ulama Sunni.” (Sallus Suyuf wal Asinnah ‘ala Ahlil Hawa wa Ad’iyatus Sunnah hal. 120)
    Beliau juga berkata: “Muncul di zaman ini jamaah-jamaah dan berbagai golongan yang menisbatkan dirinya kepada As Sunnah dan dakwah di jalan Allah seperti Ikhwanul Muslimin dan berbagai sempalannya seperti Jamaah Takfir wal Hijrah, atau para pengikut Sayyid Quthub yang dipelopori dalam mengibarkan panjinya oleh Muhammad Surur Zainal Abidin yang meninggalkan negeri Islam dan “hijrah” ke negeri kafir, negara gereja dan salibis serta merasa tenang menetap di sana (Birmingham, Inggris). Kemudian dia meniupkan berbagai konsep yang busuk dan memecah kekuatan kaum muslimin, menikam para ulama, mengacau para hukkam (penguasa) dengan serial majalahnya yang bernama As-Sunnah (menurut versi mereka) yang diikuti dengan mencetak berbagai tulisan yang merendahkan karya para ulama salaf, yang kemudian jejak dan langkah ini diikuti oleh segolongan orang yang menyangka bahwa mereka adalah penuntut hak-hak yang syar’i bagi kaum muslimin dan pembela dari berbagai kedzaliman. Yang seakan-akan negara ini (Arab Saudi) tidak memiliki mahkamah-mahkamah syar’iyyah dan ulama-ulama yang adil dan jujur!” (Sallus Suyuf wal Asinnah, hal. 114)
    Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi berkata: “Sebagian umat tidak memperdulikan akidah dan manhaj Rasulullah n. Bahkan mereka menempuh prinsip dan akidah lain yang hakikatnya adalah produk setan bagi orang yang Allah hinakan dari seorang mubtadi’ dan penyesat.” (Al-Hatstsu ‘alal Wudd Wal I`tilaf wat Tahdzir Minal Furqah wal Ikhtilaf hal. 18)

    Macam-macam Khilaf
    Memahami macam-macam perselisihan merupakan lentera yang penting bagi seorang Ahlus Sunnah, sehingga mereka tidak terjatuh dalam sikap yang salah, baik dalam meletakkan loyalitas dan permusuhan, cinta karena Allah dan benci karena Allah.
    Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam berkata: “Macam-macam khilaf yang masyhur ada tiga:
    1. Ikhtilaf Tadhadh yaitu khilaf yang menabrak/melawan nash-nash. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada firqah-firqah yang keluar dari Ahlus Sunnah.
    2. Ikhtilaf Tanawwu’: Ini merupakan bagian dari syariat.
    3. Ikhtilaf Afham (beda pemahaman): Hal ini diperbolehkan selama mengikuti ketentuan/batasan syariat, diantaranya:
    1. Orang yang menyelisihi berada di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah, baik dalam ilmu, ta’lim, dan amalan.
    2. Tidak memperbanyak perbedaan dari sesuatu yang telah diamalkan Ahlus Sunnah.
    3. Kembali (ruju’) kepada al-haq ketika telah jelas kesalahan-kesalahannya.
    4. Termasuk golongan yang sudah memiliki keahlian dalam berijtihad.
    Hendaknya ketentuan-ketentuan ini (berjalan) di bawah pengamatan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. (Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan hal. 79)
    Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdillah mencontohkan ikhtilaf tanawwu’, diantaranya adalah macam-macam qira`at (bacan-bacaan Al Qur`an), sebagaimana yang telah terjadi terhadap para shahabat, sehingga Rasulullah menegur mereka: “Kalian berdua adalah benar!” Juga perbedaan dalam sifat adzan, sifat iqamah, doa istiftah, dll. (Syarah Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah, 2/776)
    Jenis khilaf yang kedua dan ketiga seharusnya dihadapi dengan dada yang lapang, saling mengasihi dan memberikan nasehat karena Allah. Adapun yang tercela adalah saat kita berbuat dzalim kepada setiap orang yang berselisih (dalam kriteria 2-3) dengan kita, karena hal ini akan meniup api dalam sekam. (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah, 2/779)
    Apabila al-haq nampak dan jelas, tidak boleh bagi seorang muslim untuk berselisih. Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhum meriwayatkan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam berkata saat beliau dalam keadaan sakit yang menjadikan beliau wafat: “Berikan kepadaku satu kitab, aku tuliskan untuk kalian suatu kitab niscaya kalian tidak akan berselisih!” Maka terjadi perselisihan di kalangan para shahabat, sehingga beliau berkata: “Pergilah kalian dariku, sungguh tidak pantas berselisih di sisi Nabi.” (HR. Al-Bukhari, 1/181, Muslim, 11/256)
    Akibat dari perpecahan adalah:
    1. Mengagungkan hawa nafsu.
    2. Mewariskan permusuhan, perselisihan, pertentangan dan kebencian.
    3. Menjauhkan mereka dari pondasi yang telah dibawa oleh Rasulullah n.
    4. Membangun akidah, agama secara keseluruhan dengan akal.
    5. Merendahkan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. (Lihat Sallus Suyuf wal Asinnah hal. 119)

    Wallahu a’lam bish-shawab. Semoga Allah selalu mencurahkan rahmat-Nya kepada kita dan menyatukan kita dalam suatu keutuhan di atas Al Qur`an dan As Sunnah dengan pemahaman para shahabat, dan semoga Allah satukan kita di jannah-Nya. Amin.

    (Dikutip dari tulisan ustadz Abu Utsman Ali Basuki, Lc, judul asli Persatuan Hakiki adalah Kesepakatan Mengikuti Jejak Para Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam, url sumber http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=274)

    Membongkar Kedok JIL - Persatuan Hakiki ala Salaf (1)

    Rabu, 03 Juni 2009 :: kategori Firqoh-Firqoh
    Penulis: Al Ustadz Ali Basuki, Lc

    Persatuan merupakan satu landasan penting untuk membangun kehidupan yang istiqamah di atas jalan Allah Ta’ala. Tapi sungguh sayang, kalimat benar dan mulia ini banyak dipergunakan secara keliru oleh berbagai gerakan (firqah/kelompok) yang dilandasi oleh berbagai ambisi dan hawa nafsu. Mereka menggunakan kalimat tersebut untuk bersembunyi di balik nama perjuangan Islam, namun hakikat tujuan mereka yang sebenarnya adalah untuk meraup keuntungan duniawi. Yang lebih tragis, ulah mereka ini banyak menimbulkan perpecahan kaum muslimin dimana-mana.

    Seruan persatuan atas nama Islam namun didasari oleh kebatilan sudah berlangsung sejak dulu. Di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, orang-orang musyrikin jahiliyah pernah menawarkan kepada beliau ajaran sinkretisme, yaitu persatuan dalam praktek ibadah antara kaum musyrikin dengan kaum muslimin. (Sirah Ibnu Hisyam, 1/334)

    Di Mesir, muncul gerakan persatuan agama Samawi, sebagaimana yang diserukan oleh Hasan Al-Banna. (Da’watul Ikhwan fil Mizan hal. 156). Para politikus dari kalangan Ikhwanul Muslimin menjadikan kalimat persatuan sebagai pilar untuk menyatukan berbagai elemen yang ada di tubuh kaum muslimin, yang mereka gunakan sebagai batu loncatan untuk meraih kekuasaan.
    Berlandaskan “Ikramul Muslim”, kelompok Jamaah Tabligh membangun persaudaraan dengan berbagai firqah dan gerakan sebagai sarana untuk menebarkan “kebodohan.” (Jama’ah Tabligh Ta’rifuha ‘Aqaiduha hal. 402)

    Firqah Sururiyah dengan syubhat “inshaf” (prinsip yang mengharuskan menyebut kebaikan seseorang yang dikritik karena melakukan penyimpangan dalam agama. Prinsip ini merupakan kaidah yang baru/bid’ah), menebarkan faham yang melumpuhkan al-wala` wal bara`. (Manhaju Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal hal. 55)
    Di tahun 1965 muncul fatwa dari sebagaian “ulama” di Indonesia yang membolehkan kaum muslimin membangun kerjasama dengan kaum komunis/Nasakom. (Membahas Khilafiyah hal. 157)
    JIL (Jaringan Islam Liberal) yang digembongi Ulil Abshar meracuni kaum Muslimin dengan label persatuan agama samawi. (Majalah Asy-Syari’ah edisi 10 hal. 22)
    Semua bentuk persatuan di atas merupakan kepanjangan tangan dari gerakan teologi pluralis yang selalu ditawarkan musuh-musuh Allah kepada umat Islam sebagai pisau bunuh diri dalam setiap masa. Sejenak mari kita simak uraian berikut ini.
    Perpecahan yang mengerikan telah menimpa umat yang terdahulu sehingga mereka mendapatkan kehancuran. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
    “Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang berpecah dan berselisih setelah datang keterangan kepada mereka dan bagi mereka adzab yang besar.” (Al-Imran: 105)
    Ibnu Katsir berkata (dalam menafsirkan ayat di atas): “Allah tabaaraka wa ta’ala melarang umat ini untuk menyerupai umat terdahulu dalam perpecahan dan perselisihan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/390)

    Perpecahan merupakan sarana bagi setan untuk membelenggu kaum muslimin agar selalu tercabik-cabik dalam permusuhan dan perpecahan, sehingga dalam banyak ayat Allah Ta’ala melarang kaum muslimin untuk berpecah belah. Diantaranya dalam ayat berikut, yang artinya:
    “Berpeganglah kalian seluruhnya dengan tali Allah dan jangan berpecah belah.” (Ali ‘Imran: 103)
    Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Telah diperintahkan kepada mereka (kaum muslimin) untuk bersatu dan melarang mereka dari perpecahan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/389)
    Abu Ja’far At-Thabari rahimahullah berkata: “Yang dimaksud oleh Allah Ta’ala dari ayat tersebut adalah: Berpeganglah kalian dengan agama Allah Ta’ala yang telah Dia perintahkan kepada kalian, dan dengan janji-Nya yang telah diambil atas kalian di dalam Kitab-Nya, yaitu berkumpul di atas kalimat yang benar dan berserah kepada kalimat Allah Ta’ala.” (Tafsir Ath-Thabari, 3/378)
    “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.” (Al-An’am: 159)
    Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam tidak bertanggung jawab (berlepas diri) dari semua yang memisahkan dari agama Allah Ta’ala atau yang menyelisihinya. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/200)

    “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama dan apa yang telah di wasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” (Asy-Syura: 13)
    Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah telah mewasiatkan kepada seluruh nabi ‘alaihish shalatu was salam untuk bersatu dan berjamaah serta melarang mereka dari perpecahan dan ikhtilaf.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/109)
    Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Janganlah kalian berpecah belah dalam perkara tauhid, dalam keimanan kepada Allah, ketaatan kepada Rasul-Nya, dan dalam menerima risalahnya.” (Fathul Qadir, 4/694)

    “Janganlah kalian menjadi golongan orang-orang musyrik yaitu dari orang-orang yang memecah belah agamanya menjadi berpartai-partai dan masing-masing partai mearasa bangga dengan yang ada pada mereka.” (Ar-Rum: 31-32)
    Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata: “Di sini ada peringatan bagi kaum Muslimin dari perselesihan, perpecahan sehingga berkubu-kubu, setiap golongan fanatik dengan apa yang dimiliki baik yang haq dan batil, sehingga dengannya mereka menyerupai orang-orang musyrik dalam berpecah belah. Ingat, agama adalah satu, Rasul yang satu, dan sesembahan yang satu.” (Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan hal. 590)
    Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Termasuk seruan jahiliyah adalah menyeru untuk fanatik kepada kesukuan atau fanatisme kepada tokoh tertentu. Termasuk juga fanatisme dengan madzhab, partai-partai, masyayikh, atau mendahulukan hawa nafsu dan kesukuan dalam pembelaan terhadap segolongan orang bahkan menisbatkan diri kepadanya serta menyeru kepadanya (nafsu dan kesukuan). Demikian pula saat dia memberikan loyalitas atau permusuhan dan mengukur manusia dengannya. Ini semua merupakan seruan jahiliyah.” (Taisirul ‘Azizil Hamid hal. 350)

    “Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan umat yang satu tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang dirahmati Rabbmu.” (Hud: 118-119)
    Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata: “Allah mengabarkan, jikalau Dia menghendaki niscaya seluruh manusia akan dijadikan satu dalam keutuhan agama Islam karena kehendak-Nya tidak terbatasi dan tidak ada sesuatu apapun yang bisa menghalangi-Nya. Tetapi tetap dengan hikmah-Nya mereka (manusia) berselisih, menyelisihi jalan yang lurus, dan mengikuti jalan-jalan yang menjerumuskan ke an-naar (neraka). Masing-masing dari mereka menyatakan: ‘Kami berkata yang benar dan yang lainnya salah.’ Dan Allah membimbing (untuk sebagian umat) kepada ilmu tentang al-haq, kemampuan beramal dengannya dan persatuan, sehingga mereka merasakan kedamaian sejak dini yang kemudian teriringi dengan pertolongan dan taufiq dari Allah Ta’ala. Adapun yang lainnya adalah umat yang terhinakan dan berjalan dengan diri mereka sendiri.” (Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan hal. 348)
    Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Orang-orang yang dirahmati adalah para pengikut para rasul yang selalu berpegang teguh dengan apa yang diperintahkan agama dan diperintahkan para rasul.” (Tafsir Ibnu Katsir: 481)
    Qatadah berkata: “Orang-orang yang dirahmati Allah adalah Ahlul Jama’ah walaupun negeri dan keberadaan mereka berjauhan, sedangkan pelaku kemaksiatan kepada Allah adalah Ahlul Furqah, walaupun negeri dan keberadaan mereka bersatu.” (Tafsir Ibnu Katsir: 482)

    Diriwayatkan dari Mu’awiyah Radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda yang artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah terpecah belah menjadi 72 firqah dan sungguh akan terpecah umat ini menjadi 73 firqah.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad, 4/102, Abu Dawud dalam As-Sunnah Bab Syarhus Sunnah no. 4597 dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 204)
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda yang artinya:
    “Sesungguhnya Allah meridhai bagi kalian tiga (perkara) dan membenci bagi kalian tiga perkara: Meridhai bagi kalian untuk hanya beribadah kepada-Nya, jangan kalian sekutukan Dia dengan sesuatu apapun, dan kalian semua berpegang teguh kepada tali Allah dan jangan kalian berpecah belah...” (HR. Muslim Bab An-Nahyu ‘an Katsratil Masail no. 1715)
    Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Berpegang teguh dengan tali Allah adalah berpegang dengan apa yang telah dibawa Rasulullah: Al Qur`an, As Sunnah, dan yang mencakup semua bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam berupa perkara akidah, ibadah, akhlak, muamalah. Tidak boleh bagi seorang muslim baik secara pribadi ataupun golongan/masyarakat muslimin, atau suatu negeri muslim dari rakyat dan pemerintah, untuk keluar dari perkara ushuluddin atau furu’nya. Akan tetapi wajib bagi umat untuk beriman dan berpegang teguh secara menyeluruh dengan apa yang telah dibawa oleh penutup para nabi dan pemimpin para rasul, serta selalu mendahulukan bimbingan (ajaran nabi) dari semua ucapan dan bimbingan yang lainnya.” (Mudzakkiratul Hadits An-Nabawi hal. 39)

    Tunduk dan taat di atas al-haq merupakan landasan persatuan yang hakiki. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
    “Dan patuhlah kalian semua kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian berselisih sehingga kalian akan melemah dan pudar kekuatan kalian dan bersabarlah sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal: 46)
    Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata: “Agama (Islam) adalah satu, yaitu apa yang telah dibawa oleh Rasulullah n. Tidak bisa dipecah menjadi beberapa sekte atau madzhab. Bahkan agama (kebenaran) adalah satu dan datang dari Allah, yang telah dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan apa yang beliau tinggalkan kepada umatnya. Yaitu beliau tinggalkan umatnya di atas kemurnian (kejelasan). Malamnya seperti siangnya, tidak ada yang menyeleweng darinya kecuali akan binasa.” (Lamhah ‘Anil Firaq Ad-Dhallah hal. 10)
    Abul Qasim Al-Ashbahani berkata: “Allah telah memerintahkan kepada kalian untuk menjadi orang yang mengikuti (taat), mendengar, dan patuh. Seandainya umat dibebaskan dengan akalnya, qias, dan hawa nafsunya dalam memahami tauhid dan mencari keimanan, sungguh mereka akan sesat.” (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah hal. 141)

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sungguh jelas bahwa sebab persatuan dan keutuhan adalah mengumpulkan (menerima) semua bagian agama dan mengamalkanya secara keseluruhan. Hal itu merupakan bentuk ibadah kepada Allah yang Esa tidak ada sekutu baginya, yang diwujudkan secara lahir dan batin sebagaimana yang telah diperintahkan. Dan faedah dari berjamaah adalah tercurahkannya rahmat Allah, keridhaan-Nya, keselamatan, kebahagiaan dunia dan akhirat, muka yang putih/cemerlang. Adapun buah dari perpecahan adalah adzab Allah, laknat, muka yang hitam dan darinya.” (Majmu’ Fatawa, 1/17)berlepasdirinya Rasulullah
    Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata: “Berpegang teguh dengan Kitabullah sesuai dengan apa yang Allah inginkan (bisa) terealisasikan dalam tiga perkara:
    1. Menerima ayat-ayat Al Qur`an Al-Karim dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam yang shahih dengan penuh kejujuran secara lahir dan batin tanpa ada keraguan sedikitpun dalam menerima perkara itu. Sikap penerimaan ini harus tegak di atas keyakinan yang kokoh bahwa Al Qur`anul Karim dan As Sunnah yang suci terjaga dengan penjagaan dari Yang Maha mengetahui berfirman yang artinya:perkara ghaib. Allah
    “Sungguh telah Kami turunkan Ad-Dzikr dan sungguh Kami akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9)
    2. Memahami Al Qur`an dan As Sunnah di atas pemahaman para shahabat dan siapa saja yang selalu mengikuti mereka dengan baik. Sungguh tidak ada keselamatan dari penyelewengan/kesesatan dalam memahami Al Qur`an dan As Sunnah kecuali dengan cara ini. Kebanyakan firqah-firqah yang menyeleweng dari jalan Allah disebabkan tidak adanya penyandaran kepada pemahaman para Salafush Shalih. Dan Ahlus Sunnah adalah umat yang paling bahagia dengan pemahaman para shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik.
    3. Beramal dengan Al Qur`anul Karim dan As Sunnah yang suci secara lahir dan batin sebagaimana yang telah diamalkan para shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik. (Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan hal. 21-22)
    Berjamaah dengan generasi pertama merupakan dasar persatuan yang hakiki karena para shahabat merupakan pemimpin bagi umat yang setelahnya dalam beragama. ‘Abbad bin ‘Abbad rahimahullah berkata: “Al Qur`an adalah imam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam adalah pemimpin bagi para shahabatnya, dan shahabat-shahabat beliau adalah pemimpin bagi umat yang setelahnya.” (Min Washaya Salaf hal. 28).
    ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata: “Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya telah memberikan bimbingan. Barangsiapa yang mengambilnya maka hal itu adalah suatu sikap membenarkan Kitabullah, penyempurnaan ketaatan, dan sebuah ketegaran dalam beragama. Barang siapa mengambil petunjuk dengannya sungguh dia akan terbimbing dan barangsiapa menolongnya maka dia akan ditolong. Siapa yang menyelisihinya serta mengikuti selain dari jalan orang-orang yang beriman (para shahabat) maka Allah akan palingkan dia sebagaimana dia telah berpaling dan akan masukkan dia ke jahannam sebagai tempat kembali yang paling jelek.” (Min Washaya Salaf hal. 84-85)

    Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
    “Dan barangsiapa yang menentang Ar-Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan mengikuti selain jalan orang-orang mukminin niscaya dia Kami palingkan sebagaimana dia telah berpaling dan akan Kami masukkan dia ke neraka jahannam sebagai sejelek-jelek tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)
    Abu Muhammad Abdullah bin Abi Zaid Al-Qairuwani berkata: “Bimbingan As Sunnah harus diterima dengan tidak membenturkannya dengan pikiran (akal) atau melawannya dengan qiyas. Kita harus menafsirkan dengan apa yang telah ditafsirkan para Salafush Shalih, beramal dengan apa yang telah mereka amalkan, meninggalkan apa yang telah ditinggalkannya, dan menahan diri dari apa yang mereka diam, mengikuti mereka pada apa yang telah mereka terangkan, menjadikan mereka sebagai qudwah dalam pemahaman dari apa yang telah mereka alami, dan kita tidak keluar dari jamaah mereka dalam perselisihan atau penafsiran.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits hal. 87)
    Ibnu Abi Zamanin berkata: “Sesungguhnya As Sunnah adalah penjelas Al Quran dan As Sunnah tidak dapat diraih sekedar dengan qiyas dan akal, akan tetapi diraih dengan ittiba’ (meneladani) kepada para imam dan apa yang sebagian besar dari umat ini telah berjalan di atasnya. Allah Ta’ala telah menyebut dan memuji segolongan umat dengan firman-Nya:
    “Berilah kabar gembira para hamba-Ku yang mendengarkan suatu ucapan kemudian mengikuti apa yang terbaik. Mereka adalah orang-orang yang telah diberi petunjuk Allah dan mereka adalah orang-orang yang memiliki akal.” (Az-Zumar: 18)
    Dan Allah Ta’ala memerintahkan hambanya dengan firman-Nya yang artinya:
    “Ini merupakan jalan-Ku yang lurus maka ikutlah dan janganlah kalian mengikuti berbagai jalan, niscaya kalian akan berpecah dari jalan-Nya, hal itu merupakan wasiat bagi kalian semoga kalian bertaqwa.” (Al-An’am: 153) (Ushulus Sunnah karya Ibnu Abi Zamanin hal. 35)
    Al-Imam Al-Ashbahani berkata saat menerangkan posisi shahabat dalam berjamaah (bersatu): “Barangsiapa menyelisihi para shahabat Rasulullah dalam suatu perkara agama maka sungguh dia akan sesat.” (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah, 2/440)
    Al-Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata: “Asas ditegakkannya jamaah adalah para shahabat Nabi Muhammad -semoga Allah merahmati mereka semua- dan mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Maka barangsiapa yang tidak mengambil dari mereka maka sungguh telah sesat dan berbuat bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan dan pelakunya tempatnya adalah neraka.” (Syarhus Sunnah hal. 68)
    Berjamaah dengan pemahaman para shahabat merupakan asas persatuan yang harus dijaga. Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata: “Sesungguhnya Ahlus Sunnah merasakan kedamaian yang sejuk di hati mereka, hal ini disebabkan jelas dan kokohnya kebenaran di dalam hati mereka. Karena sesungguhnya lafadz As Sunnah memberikan makna keharusan beramal dengan apa yang telah dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam yaitu Al Qur`an dan As Sunnah. Adapun lafadz al-jamaah maknanya adalah bersatu di atas al-haq, mengamalkannya dan berjalan di atas jejak salaf.” (Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan hal. 12)

    Asy-Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alusy-Syaikh berkata: “Merupakan suatu kewajiban untuk kita berpegang teguh dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah, berpegang dengan ucapan-ucapan mereka, tidak keluar dari landasan-landasan, ketentuan-ketentuan dan dari apa-apa yang telah ditetapkan dari para ulama, karena mereka mengetahui landasan-landasan Ahlus Sunnah wal Jamaah, dalil-dalil syariah yang tidak diketahui kebanyakan dari umat manusia bahkan juga mereka yang menisbatkan dirinya sebagai ulama. Hal ini dikarenakan mantapnya ilmu mereka, sisi pandang yang tepat, dan kokoh di atas ilmu.” (Adh-Dhawabith Asy-Syar’iyyah Limauqifil Muslim Minal Fitan hal. 27)
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bahkan berwasiat untuk memegangi petunjuk para shahabat:
    “Hendaknya kalian pegangi sunnahku dan sunnah Al-Khulafa` Ar-Rasyidin, gigitlah dia dengan gigi gerahammu dan hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan sungguh setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Ahmad, 4/126, At-Tirmidzi no. 2676, Abu Dawud no. 4607, Ibnu Majah no. 34)
    Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin adalah mereka yang mewarisi ilmu yang bermanfaat dan amalan yang baik. Dan umat yang paling berhak dengan sifat ini adalah para shahabat yang Allah meridhai mereka. Sungguh Allah telah memilih mereka untuk menyertai Nabi-Nya dalam menegakkan agama. Dan tidaklah Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana memilih untuk menyertai Nabi-Nya kecuali umat yang paling sempurna keimanannya, paling benar akalnya, paling lurus amalannya, paling kuat tekadnya, paling lurus jalan mereka. Sungguh mereka adalah umat yang paling berhak untuk diikuti setelah Nabi dan juga para imam yang mengetahui petunjuk dan kebaikan.” (Fathur Rabbil Bariyyah bi Talkhisil Hamawiyyah hal. 8)

    Menjauh dari pemahaman para shahabat merupakan tindakan memecah persatuan sebagaimana yang dijelaskan Al-Imam Al-Barbahari: “Ketahuilah semoga Allah merahmatimu! Sesungguhnya tidak sempurna Islam seseorang sehingga dia menjadi orang yang muttabi’ (meneladani), membenarkan, menyerahkan/yakin. Maka barangsiapa menganggap bahwa masih ada urusan agama yang tidak disampaikan para shahabat Rasulullah kepada kita, sungguh dia telah menuduh mereka dengan kedustaan. Dan cukup apa yang dia lakukan sebagai suatu sikap memisahkan diri dan menikam mereka, maka dia telah berbuat bid’ah, sesat, menyesatkan, membikin suatu perkara yang baru dalam agama yang bukan darinya.” (Syarhus Sunnah hal. 70)

    Persatuan yang dilandasi dengan kesatuan akidah, manhaj, akhlak serta kemurnian syariah merupakan rahmat Allah. Adapun perpecahan adalah adzab. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, yang artinya:
    “Wajib bagi kalian berjamaah dan hati-hati dari perpecahan. Sesungguhnya setan bersama orang yang menyendiri dan dia akan lebih jauh apabila (kalian) berdua.” (HR. Ahmad, 1/18, At-Tirmidzi no. 2165, An-Nasa`i dalam Sunanul Kubra no. 9219. Dishahihkan oleh At-Tirmidzi, Al-Hakim, dan Asy-Syaikh Ahmad Syakir (dinukil dari Al-Wardul Maqthuf, hal. 142), ed)
    Dari Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhum, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
    “Tangan Allah bersama jamaah.” (HR. At-Tirmidzi no. 2127, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah hal. 40 (diambil dari Al-Wardul Maqthuf, hal. 142), ed)
    Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan kita untuk bersatu di atas Al Kitab dan As Sunnah serta melarang kita dari perpecahan dan perselisihan. Karena dalam persatuan di atas Al Kitab dan As Sunnah terdapat kebaikan yang akan didapatkan baik sekarang atau di masa yang akan datang, dan di dalam perpecahan terdapat kerusakan baik sekarang atau di masa yang akan datang.
    Hal ini membutuhkan perhatian yang besar karena dengan berjalannya waktu, perpecahan, seruan-seruan, sempalan-sempalan sesat, madzhab-madzhab, jamaah-jamaah yang saling berpecah belah akan semakin banyak. Sehingga wajib atas seorang muslim untuk hati-hati. Apa yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah harus diambil dari yang menyerukan, siapun dia karena al-haq merupakan sesuatu yang dicari seorang mukmin.

    Adapun yang menyelisihi apa yang ada dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam maka tinggalkan dia walaupun itu ada pada jamaahnya atau berada pada orang yang berloyalitas kepadanya, selama dia menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah. Karena tentunya manusia menginginkan keselamatan dan tidak menginginkan kebinasaan dan kehancuran untuk dirinya. Tidak perlu dalam masalah seperti ini untuk berbasa-basi, karena permasalahannya adalah antara jannah (surga) dan an-naar.
    Manusia tidak perlu berbasa-basi, bersikap fanatik, dan membela hawa nafsu dalam menghadapi selain Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karena hal itu akan bermudharat terhadap dirinya bahkan akan mengeluarkannya dari jalan keselamatan menuju jalan kebinasaan. Tidak akan berbahaya bagi Ahlus Sunnah wal Jamaah siapa saja yang menyelisihinya, baik saat engkau bersama mereka atau saat engkau menyelisihinya. Saat mereka bisa bersamamu maka segala puji bagi Allah, niscaya mereka akan bersuka cita dengannya, berarti mereka menginginkan kebaikan untuk umat manusia. Tetapi saat engkau menyelisihinya sungguh engkau tidak berbuat jahat bersabda yang artinya:kepadanya mereka. Oleh sebab itu Rasulullah
    “Terus akan ada segolongan dari umatku yang selalu menang di atas kebenaran, tidak bermudharat bagi mereka orang-orang yang ingin menghinakannya, hingga datang ketentuan dari Allah maka mereka tetap seperti itu.” (HR. Muslim no. 1920, Abu Dawud no. 4252, Ahmad, 5/109)

    (Dikutip dari tulisan ustadz Abu Utsman Ali Basuki, Lc, judul asli Persatuan Hakiki adalah Kesepakatan Mengikuti Jejak Para Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam, url sumber http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=274)
    Cetak Halaman Ini

    Berdemokrasi, Berkolaborasi Meruntuhkan Islam

    Rabu, 03 Juni 2009 :: kategori Aqidah
    Penulis : Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

    Sistem kepartaian lahir sebagai konsekuensi logis dari demokratisasi yang bergulir. Demokrasi adalah sebuah paham yang lahir dari pemikiran filsafat Yunani. Dengan tiga pilar inti: liberty (kebebasan), fraternity (persaudaraan), dan equality (persamaan), paham demokrasi dijajakan secara paksa ke negeri-negeri kaum muslimin.

    Negara yang paling getol memompakan paham ini adalah Amerika Serikat (AS). Melalui beragam cara, negeri Paman Sam ini terus melakukan neo-kolonialisme (penjajahan gaya baru) dengan meracuni negeri-negeri kaum muslimin dengan paham Yunani satu ini. Meski senyatanya, di negeri AS sendiri, paham demokrasi ini tidak begitu keras nilai jualnya. Terbukti, setiap kali diadakan pemilihan umum, hanya kalangan tertentu saja yang berpartisipasi dalam pemilu. Banyak warga AS yang tidak memedulikan pesta demokrasi di sana. Banyak warga negaranya yang golput. Sebuah ironi yang sangat kontras dari sebuah negara kolonialis AS yang mempropagandakan demokratisme, namun di negaranya sendiri tak diminati warganya. Rakyat AS yang menggunakan hak pilih dalam enam pemilu terakhir, ternyata tak mencapai jumlah 60%. Tahun 1988 hanya 50,1%, 1992: 55,1%, 1996: 49,1%, 2000: 51,3%, 2004: 55,3%, dan tahun 2008: 56,8%. Dari angka-angka yang dikeluarkan Federal Election Commision (semacam lembaga Komisi Pemilihan Umum [KPU] di Indonesia), nyata bahwa nyaris separuh penduduk AS yang punya hak pilih tidak menggunakan hak pilihnya alias golput.
    Vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara tuhan. Dengan jargon ini, sistem demokrasi mengeksplorasi rakyat untuk terlibat aktif. Kemenangan peserta pemilu ditentukan dari perolehan suara terbanyak. Tak memedulikan apakah peserta pemilu yang menang tersebut memiliki kualitas yang handal atau tidak untuk mengurusi negara. Tak peduli pula, apakah yang dipilih tersebut bisa dipertanggungjawabkan moralitasnya atau tidak. Selama pemenang pemilu tersebut meraup suara yang mumpuni, maka berhak untuk mengelola negara. Rakyatlah yang menentukan seseorang mendapatkan kursi atau tidak. Padahal, dari berbagai strata (lapisan) masyarakat, tak seluruhnya (bahkan sebagian besar) tidak memahami benar kualitas dan moralitas calon yang dipilihnya. Karenanya, tak mengherankan bila kemudian terjadi politik “bagi-bagi uang” guna memenangkan calon peserta pemilu. Rakyat didekati, agar mau memberikan suaranya untuk sang calon. Janji-janji disebar, guna memikat rakyat. Sebuah fenomena menebar ambisi mereguk jabatan. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pernah menasihati Abdurrahman bin Samurah radhiyallahu ‘anhu untuk tidak meminta-minta kedudukan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari (no. 7146) dan Al-Imam Muslim (no. 1652), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لاَ تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا، وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا
    “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena sungguh, jika engkau diberi kedudukan tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (Allah Subhanahu wa Ta’ala) atas kedudukan (yang ada padamu). Sedangkan jika kedudukan tersebut diperoleh dari hasil meminta, engkau bakal dibebani kedudukan tersebut (tidak ditolong Allah Subhanahu wa Ta’ala).”
    Sistem demokrasi telah membuka peluang antar elit politik dan antar konstituen (pendukung) partai saling berbenturan. Masing-masing memiliki kepentingan dan fanatisme kepartaian yang membabi buta. Karena itu, seringkali wahana pesta demokrasi diwarnai aksi-aksi brutal vandalis (merusak), penganiayaan fisik, dan pembunuhan rival politik. Konflik di tingkat elit diikuti pula dengan konflik di di level bawah. Sebut saja kasus kegagalan Megawati terpilih menjadi presiden, telah menimbulkan aksi kekerasan di tingkat lokal. Pembakaran Gedung Walikota Surakarta merupakan imbas pertarungan elit politik di ibukota negara. Demikian pula yang terjadi di Surabaya, Pasuruan, atau wilayah tapal kuda Jawa Timur. Pembakaran kantor Golkar, aksi penebangan pohon, dan perusakan sarana milik masyarakat merupakan dampak pertikaian antar elit politik di level atas. Para elit politik berebut kedudukan, mengumbar ambisi untuk meraih posisi utama kekuasaan. Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan tentang ambisi liar untuk merebut kekuasaan. Kata beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
    إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
    “Sungguh kalian akan berambisi untuk meraih kepemimpinan dan kelak kalian akan menyesal di hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 7148)
    Kehidupan berpartai telah mencabik-cabik ukhuwah Islamiyah. Padahal ukhuwah (persaudaraan) sesama muslimin merupakan nikmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Firman-Nya:
    وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
    “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran: 103)
    Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kelompok-kelompok yang saling bertikai dan berperang di kalangan kaum muslimin untuk melakukan langkah-langkah perdamaian. Hingga ukhuwah di antara mereka yang baku tikai bisa terajut kembali. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan bertakwa agar memperoleh rahmat. Firman-Nya:
    وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ الهَْ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ. إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
    “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 9-10)
    Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencurahkan rahmat kepada orang-orang beriman manakala mereka menjaga ukhuwah, saling menolong dalam kemaslahatan. Inilah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepada orang-orang beriman agar tetap menjaga ukhuwah. Firman-Nya:
    وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
    “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 71)
    Lantas, apa yang mereka peroleh setelah sistem yang dijejalkan orang-orang kafir ini ditelan mentah-mentah oleh sebagian kaum muslimin? Tak lain kecuali merobek jalinan persaudaraan sesama muslim. Hubungan keluarga menjadi tidak harmonis lantaran satu anggota keluarga dengan anggota keluarga yang lainnya berbeda atribut partai. Hubungan tetangga menjadi tidak nyaman lantaran satu dengan yang lain berbeda partai. Begitulah buah yang bisa dipetik dari sebuah sistem bernama demokrasi.
    Bagi sebagian masyarakat yang benar-benar mencermati proses demokratisasi di negeri ini, sebagian dari mereka cenderung untuk tidak terlibat sebagai partisipan alias golput. Sikap apatis, acuh tak acuh terhadap pelaksanaan pemilu lebih disebabkan melihat hasil proses demokratisasi itu sendiri. Yang senyatanya, jika berbicara jujur, bahwa demokratisasi tidaklah akan memberi kebaikan kepada masyarakat. Rakyat hanya dijadikan kuda tunggangan agar elit politik bisa merebut kursi, setelah itu rakyat dilupakan dan mereka sibuk membesarkan partai serta keadaan dirinya. Demokrasi telah turut andil menanamkan sikap sinis rakyat terhadap elit politik mereka. Maka, persepsi bahwa politik itu kotor, menyeruak kembali di benak masyarakat. Berpolitik tidak lebih dari sekadar perebutan kekuasaan dengan memperalat rakyat.
    Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam, salah seorang ulama Yaman, mengungkapkan bahwa pemilu termasuk aktivitas menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Perbuatan tersebut dikategorikan dalam syirku ath-tha’ah (syirik ketaatan). Ini dilihat dari sisi bahwa pemilu merupakan bagian dari sistem aturan (an-nizham) demokrasi. Sedangkan demokrasi adalah sebuah sistem aturan yang berasal dari musuh-musuh Islam agar kaum muslimin berpaling dari keyakinan agamanya. Barangsiapa ridha dengan sistem aturan tersebut, turut menyebarluaskannya dan meyakini kebenarannya, maka sungguh dia telah menaati musuh-musuh Islam dalam upaya menyelisihi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini benar-benar kesyirikan dalam ketaatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ. تَرَى الظَّالِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا كَسَبُوا وَهُوَ وَاقِعٌ بِهِمْ
    “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih. Kamu lihat orang-orang yang zalim sangat ketakutan karena kejahatan-kejahatan yang telah mereka kerjakan, sedangkan siksaan menimpa mereka.” (Asy-Syura: 21-22)
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لِلَّذِينَ كَرِهُوا مَا نَزَّلَ اللهُ سَنُطِيعُكُمْ فِي بَعْضِ الْأَمْرِ
    “Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang Yahudi): ‘Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan’.” (Muhammad: 26)
    Firman-Nya pula:
    وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
    “Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (Al-An’am: 121) [Tanwiru Azh-Zhulumati bi Kasyfi Mafasidi wa Syubuhati Al-Intikhabat, hal. 39]
    Sungguh naif sekali bila ada yang berpandangan bahwa sistem demokrasi bisa menjadi wasilah (sarana) bagi tegaknya syariat Islam. Bagaimana mungkin seseorang menegakkan syariat Islam, sementara jalan yang ia tempuh untuk menegakkan syariat Islam itu sendiri bertentangan dengan syariat. Justru saat dirinya menempuh jalan tersebut (demokrasi) senyatanya dia tengah meruntuhkan nilai-nilai syariat Islam. Sadar atau tidak, dirinya tengah berkolaborasi (bekerja sama) dengan musuh-musuh Islam. Karena tujuan hendak meraup suara sebanyak-banyaknya dalam pemilu, banyak aktivis partai yang terjatuh pada kesyirikan dan kemungkaran.
    Pernyataan Sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Anis Matta, yang menganggap angka delapan sebagai angka hoki (keberuntungan), telah memicu pro-kontra di kalangan anggota partai. Di Semarang, PKS menggelar aksi pada tanggal 8 bulan 8 (Agustus) tahun 08 (2008), sehingga muncul angka “keramat” 8-8-8. Tak sampai di situ, di Bundaran Air Mancur, Semarang dihadirkan 8 orang Srikandi PKS yang melepas 8 merpati sebagai simbol bahwa PKS merupakan partai cinta damai dan memperjuangkan kesejahteraan. Disertai pula acara melepas 88 balon bertulis angka 8. Di Aceh digelar acara “beulukat kuneng 8” yang dilakukan pada tanggal 8 bulan 8 yang lalu. Allahul Musta’an.
    Ironis memang. Partai yang katanya berplatform (berlandaskan) Islam ini, justru mengaitkan pertambahan perolehan suara dengan nomor partai. Tahun 1999, semasa bernama Partai Keadilan (PK) bernomor 24, setelah bernomor 16 (2004), PKS meraih suara lebih banyak. Kini dengan nomor urut 8 bakal bisa lebih banyak lagi. Perubahan 24, 16, 8 juga merupakan selisih 8.
    Dalam terminologi agama, ada istilah yang disebut tathayyur yaitu (anggapan) kesialan. Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam, bahwa kesesatan orang-orang seperti ini telah sampai pada taraf yang membahayakan. Sebagian orang menentukan kesialan lantaran waktu, hari-hari, bulan-bulan, atau tahun-tahun. Sebagian lagi menentukannya dengan angka-angka, seperti angka 13. Ada lagi yang menentukan nasib sial dengan burung. Ketahuilah bahwa tathayyur (menentukan sial tidaknya sesuatu) termasuk macam kesyirikan (perbuatan menyekutukan) Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Irsyadun Nazhir ila Ma’rifati ‘Alamatis Sahir, hal. 85)
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    أَلاَ إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ
    “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al-A’raf: 131)
    Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
    الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
    “Thiyarah adalah syirik. Thiyarah adalah syirik. Thiyarah adalah syirik. Dan tiadalah salah seorang dari kita kecuali (sungguh telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari itu), akan tetapi Allah telah menghilangkannya dengan tawakkal (kepada-Nya).” (HR. Abu Dawud no. 3910. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menshahihkannya)
    Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t menyatakan bahwa tathayyur menafikan tauhid karena menghilangkan sikap tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menyandarkan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tathayyur menjadikan seseorang menggantungkan urusan pada sesuatu yang bukan hakikatnya, tapi pada waham (keyakinan yang keliru) dan khayal. (Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, 1/559)
    Sedangkan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah mengungkapkan bahwa tathayyur merupakan adat jahiliah. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan (terkait tathayyur ini) tentang umat-umat yang kafir dari kalangan kaum Fir’aun, Tsamud, dan ashabu Yasin (penduduk sebuah kampung seperti disebutkan dalam surat yasin ayat 13-16). (I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitab At-Tauhid, 2/3)
    Maka, siapapun dia dan dari golongan manapun, ketika dakwah tauhid diremehkan niscaya akan menyeret ke lumpur kesyirikan. Mereka yang menjadikan politik sebagai panglima, sedangkan dakwah tauhid dilalaikan, kelak akan menjadikan mereka, terjerembab jatuh menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
    Demokrasi adalah sebuah sistem. Ketika seseorang masuk dalam sistem, maka pola perilakunya akan menyesuaikan dengan perilaku yang berlaku dalam sistem tersebut. Sungguh, tidak mengherankan bila perilaku, cara pandang dan pemikiran politisi di negeri ini berkiblat kepada nilai-nilai yang menjunjung demokratisasi.
    Dalam ranah agama, cara berpikir demokratis bisa melahirkan sikap beragama yang pluralis liberalis. Seseorang akan didorong untuk bersikap toleran dan membenarkan ajaran-ajaran yang mengusung kekufuran kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ujung dari semua ini, bahwa semua agama itu benar. Maka, janganlah menganggap diri paling benar dalam mengamalkan agama. Contoh kasus Ahmadiyah dan ajaran sesat lainnya. Meski sebagian pemimpin mereka telah dijatuhi sanksi hukum, akan tetapi delik yang diajukan kepada mereka bukan karena kesesatan ajaran agama mereka. Ini menunjukkan bahwa hukum yang ada di negeri ini memberi ruang legalitas bagi ide-ide pemahaman beragama yang liberal pada mereka. Tentunya didasari pemikiran bahwa negeri ini adalah negeri yang demokratis hingga semua pemahaman agama boleh hidup. Itulah muara akhir dari sistem demokrasi –yang salah satu sendinya adalah liberty (kebebasan)– yang tengah dijejalkan ke negeri-negeri kaum muslimin. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
    وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
    “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85)
    إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ الْإِسْلاَمُ
    “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)
    Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang berakal.
    Wallahu a’lam.